Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kos 75 Ribu


Rheza turun dari mobilnya perlahan, matanya menatap jalan sempit yang sudah mulai tergenang air hujan semalam. 

Di ujung gang kecil itu, berdiri bangunan tua dua lantai yang catnya mulai terkelupas dan lumut menghiasi sudut-sudutnya. 

Di sanalah dulu dia tinggal — kos-kosan murah yang menyimpan begitu banyak kenangan getir.

Ia diam sejenak, membiarkan kenangan itu datang.


(10 tahun lalu)

Saat pengumuman beasiswa keluar, Rheza nyaris menangis. Ia berhasil lolos seleksi masuk universitas impiannya. 

Namun kegembiraan itu segera berbenturan dengan kenyataan. Ayahnya hanya seorang buruh tani, dan ibunya menjahit pakaian di rumah. Uang untuk hidup pas-pasan.

Ia lalu menemukan kosan murah, sangat murah — hanya Rp75.000 sebulan. 

Bangunannya tua, kamar hanya berukuran 2x2 meter, tak ada ventilasi memadai. Tepat di depan pintu kamarnya, berjejer jemuran pakaian dalam para penghuni. 

Udara lembab bercampur bau keringat, asap rokok, dan sisa makanan basi menjadi hal yang akrab.

Para penghuni kos kebanyakan adalah pekerja kasar, sebagian sopir ojek, buruh toko, bahkan ada yang kerja serabutan. 

Kehidupan mereka keras, dan pola hidup mereka pun tak jauh beda.

Merokok sambil selonjoran di lorong, main kartu semalaman, mabuk-mabukan, hingga tertawa keras sampai subuh jadi pemandangan harian. 

Di akhir pekan, suara musik dangdut dari speaker rusak memekakkan telinga. Tidak ada yang peduli soal jam tidur atau ketenangan.

Rheza sering tidur sambil mengenakan earphone, meski tak memutar lagu, hanya agar ia merasa punya batas dari kegaduhan luar.

Suatu malam, ketika ia hendak ke toilet bersama handuk, ia tak sengaja melihat sesuatu yang membuatnya ingin muntah. 

Seorang penghuni kos, dengan pintu setengah terbuka, sedang asyik coli sambil menonton video dari ponselnya. 

Rheza langsung membalikkan badan dan kembali ke kamar. Malam itu ia tak bisa tidur. 

Shock, jijik, dan takut bercampur jadi satu. Tapi ia tahu, tidak ada tempat lain. Ia harus bertahan.

Kehidupan di kos 75 ribu itu sempat membuatnya ingin menyerah. Tapi bayangan wajah ibunya yang meneteskan air mata bangga saat ia lolos beasiswa selalu hadir ketika ia nyaris tumbang. 

Ia terus belajar, menghindari keramaian, dan memanfaatkan perpustakaan kampus sebagai tempat ‘pelariannya’.

Di tahun ketiga, setelah mendapat kerja paruh waktu sebagai asisten dosen, Rheza akhirnya pindah ke kos yang lebih layak. 

Kamarnya sedikit lebih besar, lebih tenang, dan bebas asap rokok. Di situlah ia menata ulang hidupnya.


(Kembali ke masa kini)

Kini Rheza berdiri dengan pakaian rapi dan mobil di belakangnya. Ia sudah bekerja di perusahaan besar, memiliki rumah sendiri, dan hidup yang jauh lebih layak. 

Tapi hari ini, entah mengapa, ia ingin kembali melihat tempat yang dulu membentuknya — tempat yang mengajarkannya bertahan.

Ia melangkah pelan menuju gang itu, melewati dinding-dinding yang dulu jadi saksi tangis diam-diamnya. 

Kos itu masih sama, ramai penghuni yang mungkin silih berganti, tak ada perubahan berarti selain hanya akses gang yang kini lebih baik.

Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi pada kamar tua itu. Masih ada jemuran, masih ada suara gaduh samar dari dalam.

Ia membisik pelan pada dirinya sendiri, “Terima kasih, 75 ribu. Aku bertahan.”

Lalu ia melangkah pergi, tak lagi sebagai mahasiswa miskin — tapi sebagai lelaki yang pernah jatuh, pernah muak, tapi tak pernah menyerah.

Posting Komentar untuk "Kos 75 Ribu"