Sopir itu Kini BFku (4)
Bima menuruni mobil dengan hoodie tipis menutupi kepalanya. Di sebelahnya, Galih memanggul ransel dan menyusul ke lobby hotel dengan langkah sigap.
“Mas, ini pesanan dua kamar ya?” tanya resepsionis ramah.
Bima buru-buru menyela.
“Eh, enggak. Satu aja, yang single bed deluxe. Dia nginep sama gue.”
Galih sempat menoleh kaget. “Mas Bima…”
“Ngapain pesan dua kamar? Ribet. Lu nginep sekamar sama gue aja,” ucap Bima santai, menyerahkan KTP.
Galih sempat membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Dalam pikirannya, ia memang berencana istirahat di mobil—seperti biasa saat menemani luar kota. Tapi wajah Bima serius, dan tawarannya bukan nada bercanda.
Kamar itu cukup luas. Interiornya modern dengan sentuhan kayu hangat. Satu ranjang besar dengan linen putih bersih berada di tengah ruangan. AC menyala sejuk, lampu temaram membuat suasana nyaman.
Galih meletakkan tas di sudut ruangan, lalu berdiri kaku.
“Gal,” kata Bima dari tempat tidur sambil selonjoran, “buka baju lu deh.”
Galih spontan menoleh. “Hah? Maksudnya, Mas?”
“Ya buka baju. Gue penasaran aja, sopir kok bisa sekeren lu gitu. Pasti badan lu gak kaleng-kaleng.”
Galih terdiam. Sekujur wajahnya menunjukkan ekspresi bingung antara ragu dan malu.
“Tapi... kenapa Mas?”
Bima nyengir.
“Lu tiap hari bareng gue, tapi gue gak pernah tahu lu nge-gym kapan. Gue yakin badan lu atletis. Ayo lah, gue penasaran, ini demi ilmu pengetahuan.”
Setelah jeda beberapa detik dan tatapan penuh dorongan dari Bima, Galih akhirnya menarik kausnya ke atas, melepas perlahan.
Dan benar saja.
Di balik kaus polos itu, terlihat tubuh dengan otot yang terukir rapi. Bahu bidang, dada padat, dan perut rata membentuk garis samar sixpack.
Kulit kecokelatan dan bersih menambah kesan gagah, seperti model sampul majalah olahraga.
Bima langsung berseru.
“Anjirrr... Badan lu mulus banget. Gue gak yakin deh kalau lu sopir. Lu pasti nyamar!”
Galih tak bisa menahan tawa. Ia duduk di pinggir ranjang, menggaruk kepala.
“Nyamar jadi sopir tuh misi dari siapa?”
“Entah. Interpol mungkin,” jawab Bima sambil ngakak, lalu menepuk bahu Galih.
“Serius, Gal. Gila sih. Lu bisa bikin cowok normal minder.”
“Mas Bima aja yang over,” ucap Galih merendah.
Malam itu berlalu dengan tawa-tawa kecil, obrolan ngalor-ngidul tentang masa kecil, hobi, dan rahasia kecil masing-masing.
Bima makin merasa nyaman. Bukan hanya karena Galih enak diajak ngobrol, tapi juga karena kehadirannya membuat dunia terasa sedikit lebih ringan.
Sekat antara majikan dan sopir, antara anak orang kaya dan orang suruhan, perlahan runtuh. Yang tersisa hanyalah dua laki-laki muda yang mulai menyadari, kadang, hubungan tak perlu diberi label dulu untuk bisa tumbuh jadi sesuatu yang berarti.
Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (4)"