MELUPAKAN TAMA (4)
SEASON 2: MELUPAKAN TAMA
Bagian 4 – Nada yang Tak Selesai
“Kayaknya kamu butuh makan enak,” kata Awan sambil tersenyum, membuka pintu kedai kecil bergaya industrial dengan lampu kuning temaram.
“Supaya otak kamu encer buat lanjutin lagu puisi kamu yang kemarin.”
Aku tertawa kecil, sedikit gugup. Ini bukan kencan. Tapi juga bukan sekadar makan bareng guru piano. Entah sejak kapan, tapi caraku melihat Awan mulai berubah. Dia bukan lagi sekadar pengantar nada, tapi juga tempat aku merasa... aman.
Kami memilih meja pojok dekat jendela. Setelah memesan makanan, Awan bertanya sambil menyesap teh hangatnya,
“Kenapa kamu bikin lagu dengan tema kehilangan kayak gitu, Avif? Rasanya personal banget.”
Aku menatap uap dari cangkirku.
Lidahku kelu.
Hatiku berdebat—haruskah jujur? Haruskah kusebut nama Tama?
Tepat saat aku hendak menjawab, pintu kedai terbuka.
Dan seperti ironi yang ditulis oleh semesta sendiri, Tama masuk. Masih berseragam kantor, membawa nampan bersama seorang rekan kerjanya.
Tawanya terdengar ringan, tubuhnya tegap seperti biasa, dan ada kemeja yang dilipat sampai siku—gaya yang selalu membuatku memalingkan mata dulu.
Ia juga melihatku.
Dan untuk sepersekian detik, waktu berhenti.
“Oh, Avif?” sapanya sambil mendekat. Senyum di wajahnya tak berubah. Suara bass-nya masih terdengar familiar, bahkan ketika hanya mengucapkan namaku.
Aku berdiri, mencoba tetap tenang. “Hey... Tama.”
Dia melirik ke arah Awan, lalu menatapku lagi. “Lagi makan? Wah, ketemu pas jam lapar ya.”
Aku mengangguk. Basa-basi. Aku tahu itu. Tapi tetap saja, jantungku berdetak lebih keras dari biasanya.
“Temen kantor ya?” tanya Tama, menebak.
Awan menjawab lebih dulu. “Guru piano. Kami kerja bareng bikin lagu dari puisinya.”
Tama mengangguk pelan, senyumnya tak berubah, tapi ada sorot di matanya yang sulit kutafsirkan. Seperti sesuatu yang ditahan, atau disembunyikan.
“Oh... asik tuh,” katanya pelan. “Selamat berkarya ya, Fi.”
Aku hanya tersenyum. Ingin menjawab lebih dari itu, tapi lidahku kembali kelu.
Tama kemudian pamit dan berjalan ke ujung kedai bersama temannya. Mereka duduk jauh dari kami.
Tapi rasanya... dia tetap dekat.
Aku tidak bisa fokus. Kata-kata Awan saat berbicara tentang progres lagu hanya kutanggapi dengan anggukan dan senyum samar. Kepalaku penuh dengan bayang: tadi Tama tersenyum, tapi... kenapa rasanya seperti luka yang kembali dibuka?
Awan tampaknya sadar.
“Kalau kamu belum siap cerita soal puisimu, nggak apa-apa,” katanya pelan. “Kadang luka paling dalam justru tak bisa diceritakan, cuma bisa diolah pelan-pelan jadi karya.”
Aku menatapnya, ada rasa lega sekaligus bersalah. Dia tak menuntut. Tapi aku tahu... cepat atau lambat, aku harus memilih:
Menggenggam masa lalu, atau membuka ruang untuk yang sekarang.
Dan malam itu, aku sadar:
Melupakan Tama bukan tentang menghapus. Tapi tentang menempatkannya di lembar yang tak lagi kubaca setiap hari.
Posting Komentar untuk "MELUPAKAN TAMA (4)"