Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELUPAKAN TAMA (3)



SEASON 2: MELUPAKAN TAMA
Bagian 3 – Awan di Ujung Senyap

Setelah beberapa bulan menulis puisi, aku mulai merasakan sesuatu yang belum pernah kudapat dari cinta: ketenangan. Bukan berarti luka itu sembuh, tapi setidaknya... ia sudah tak berdarah lagi.

Namun, aku ingin lebih dari sekadar menulis. Aku ingin puisiku bisa bersuara. Aku ingin mereka punya nada, punya denting, punya getar yang bisa didengar orang lain seperti aku mendengarnya dalam kepala.

Jadi aku putuskan ikut les piano.

Studio musik kecil itu terletak di lantai dua sebuah ruko tua, agak tersembunyi. Tempat yang mungkin sengaja tidak mencari banyak murid, tapi justru itu yang membuatnya terasa hangat. Di sinilah aku bertemu Awan, guru pianoku.

Namanya cocok dengan wajahnya: teduh, terang, dan tenang. Usianya mungkin dua atau tiga tahun di atasku. Rambutnya berantakan dengan gaya alami, dan matanya seperti menyimpan cuaca yang sulit ditebak—kadang cerah, kadang kelabu. Tapi yang paling membuatku nyaman adalah caranya bicara: pelan, penuh jeda, seperti memberiku ruang untuk ikut bernapas.

“Kenapa kamu pengen belajar piano?” tanyanya di pertemuan pertama.

Aku hampir menjawab "karena aku ingin melupakan seseorang," tapi akhirnya kupilih jawaban yang lebih sederhana.

“Karena aku nulis puisi... dan aku ingin dengar bagaimana rasanya jika puisiku bisa menyanyi.”

Dia tersenyum. “Kita bisa mulai dari situ.”

Satu jam pertama, jemariku masih kaku. Tanganku dingin. Tapi Awan sabar membimbing. Ia tak menuntut cepat, tak menekan untuk bisa. Dia hanya bilang, 

“Main piano itu kayak jatuh cinta... kalau kamu paksa, dia nggak mau buka diri. Tapi kalau kamu sabar, lama-lama dia akan bicara.”

Aku tak tahu apakah itu metafora untuk musik atau perasaanku sendiri.

Minggu demi minggu berlalu, aku mulai terbiasa duduk di hadapan tuts-tuts putih dan hitam itu. Lagu-lagu dasar mulai bisa kumainkan, dan satu sore, Awan memintaku membawa satu puisiku untuk coba dibuatkan nada.

Aku membawa "Tubuh yang Tak Lagi Aku Peluk."

Dia membacanya dalam diam. Matanya tak menatapku, tapi dahi dan bibirnya sedikit mengernyit. Setelah selesai, dia mengangguk pelan.

“Sedih... tapi jujur. Nada yang kamu cari bukan yang manis. Ini butuh ruang.”

Kami mulai mencoba beberapa akor minor. Lalu suara piano mengalun pelan—seperti langkah kaki ragu di lorong kenangan.

Dan untuk pertama kalinya, puisiku bersuara.

Di sela latihan, kami mulai sering berbincang. Tentang puisi, musik, tentang kenangan. Tentang kehilangan yang tak selalu harus dimenangkan.

Tapi aku tahu satu hal:
Awan bukan Tama.
Dan aku juga belum ingin menjadikannya pengganti.

Tapi saat Awan tertawa karena salah menekan nada, dan matanya menatapku tanpa menghakimi, aku merasa sesuatu bergeser sedikit dalam dadaku.
Bukan untuk melupakan Tama.
Tapi mungkin...
Untuk memberi ruang pada langit yang baru—yang kini perlahan mulai diwarnai Awan.

Posting Komentar untuk "MELUPAKAN TAMA (3)"