Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tubuh Eksotik yang Nyaman Dip³luk


Irfin tak pernah menyangka, tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) akan membawanya ke sebuah desa pesisir.

Desa kecil itu berdiri tenang di pinggir pantai, dikelilingi perahu-perahu nelayan yang berjajar rapi, menghadap cakrawala luas yang tak pernah habis dipandang.

Hari pertama di desa, Irfin bertemu dengan Erga—anak kepala mandor dermaga. 

Tubuh Erga atletis-berotot, kulitnya coklat gelap terbakar matahari, dan matanya selalu bersinar seolah menyimpan semangat yang tak pernah padam. 

Sementara Irfin, mahasiswa kota yang lebih akrab dengan laptop dan ruangan ber-AC, tampak kontras dengannya.

Namun, mereka cepat akrab. Erga punya pembawaan yang hangat dan apa adanya. Ia dengan antusias memperkenalkan Irfin pada kehidupan nelayan. 

Dari cara menjaring ikan, menambal perahu, hingga cara membaca arus dan angin. 

“Laut itu hidup, Fin,” ujar Erga suatu sore, duduk di ujung dermaga. “Dia bisa bicara, asal kau mau mendengar.”

Erga sendiri mencintai laut lebih dari apapun. Ia punya bakat luar biasa dalam berenang dan menangkap ikan, bahkan sejak masih kecil. 

Namun ayahnya menolak keinginannya untuk jadi nelayan, dia diminta mengelola rumah makan seafood, bisnis keluarganya.

“Masa depanmu bukan di laut,” kata ayahnya, “cukup aku yang hidup dari ombak.” 

Tapi bagi Erga, laut adalah rumah. Ia tahu letak setiap karang, jalur migrasi ikan, bahkan kapan udang-udang kecil akan naik ke permukaan.

Suatu pagi, Erga mengajak Irfin berlayar. Mereka naik perahu kecil, melintasi ombak hingga ke pulau kecil tak berpenghuni yang tak jauh dari desa. 

Pulau itu asri, dipenuhi pasir putih dan pohon kelapa yang tumbuh liar. Namun keindahan sejatinya ada di balik air lautnya yang jernih.

“Ini surga kecil,” kata Irfin, tertegun melihat karang warna-warni di bawah permukaan. 

Ikan-ikan badut berenang di antara anemon, dan sekelompok penyu hijau muncul sebentar ke permukaan.

Erga mengajak Irfin menyelam dangkal. Di bawah laut, Irfin melihat hal-hal yang tak pernah ia bayangkan, ikan mandarinfish mungil bercorak biru-oranye, bunga karang langka yang hanya tumbuh di kawasan tropis, serta bulu babi putih transparan yang katanya hanya ada di perairan yang belum tercemar.

“Di sekitar pulau ini juga ada terumbu karang yang jadi rumah bagi kuda laut kerdil,” ujar Erga, “mereka kecil sekali, bahkan lebih kecil dari ujung jari, tapi mereka punya peran penting bagi ekosistem.”

Setelah seharian menjelajah laut, Erga menawarkan Irfin untuk bermalam di rumahnya. 

Rumah itu besar, terbuat dari kayu ulin tua, dengan beberapa ruang terpisah. Kamar Erga berada di lantai atas, menghadap langsung ke laut. 

Dari jendela, suara ombak terdengar seperti lagu tidur alami.

Di malam yang hening, hanya diterangi lampu petromaks dan bintang yang bertebaran, Irfin dan Erga duduk di teras, berbagi cerita. 

Irfin mulai merasakan sesuatu yang berbeda—kehadiran Erga terasa lebih dari sekadar teman.

Erga pun merasa hal yang sama, meski tak sepenuhnya ia mengerti. 

“Kau orang pertama yang dengar ceritaku tanpa menertawakan,” ucapnya pelan. 

“Entah kenapa, aku pengen jaga kamu kayak adik sendiri.”

Hubungan mereka tumbuh dalam diam, seperti pasir yang perlahan berubah bentuk karena ombak.

Malam itu, mereka larut dalam romantisme, kecupan mesra landas di bibir masing-masing.

Irfin rebahan pasrah di ranjang, Erga di atasnya, tubuhnya melengkung dan kedua tangannya menumpu di antara kepala Irfin.

"Mau ngapain?" tanya Irfin.

"Meluk kamu," jawab Erga pelan.

Erga merendahkan tubuhnya dan mendekap tubuh Irfin, bibir mereka saling berpagut, tubuh saling merangsek.

Irfin mengalungkan kakinya di pinggang Erga.

"Mau?"

Irfin mengangguk malu. Tubuh Erga terasa hangat, keras dan aroma manly yang membuatnya candu.

-00-

Irfin mulai terbiasa dengan ritme kampung nelayan, bangun pagi, melihat matahari terbit dari balik perahu, makan ikan bakar hasil tangkapan pagi, lalu duduk di tepi pantai menatap langit yang luas.

Hari-hari berlalu, dan waktu KKN Irfin semakin menipis. Tapi hatinya tertinggal di sana, bersama suara ombak, aroma laut, dan seorang anak dermaga yang bermimpi menjadi nelayan.

Erga mengantarnya ke pelabuhan pada hari terakhir. 

“Kapan-kapan, balik lagi ya,” katanya, tersenyum. “Laut ini masih banyak rahasia yang belum kamu tahu.”

Irfin menatap Erga dalam diam, sebelum akhirnya membalas, 

“Aku pasti kembali, bukan cuma untuk lautnya... tapi juga untuk kamu.”

Mereka saling berpelukan.

Posting Komentar untuk "Tubuh Eksotik yang Nyaman Dip³luk"