Di Hotel Bersama Muridku
Tidak semua kejadian besar diumumkan dengan fanfare. Kadang datang senyap, cuma mengetuk pelan, lalu tiba-tiba menghangatkan dada.
Begitulah ketika kepala sekolah memanggilku ke ruangannya dan berkata, “Pak, Raka lolos tingkat kota. Dia harus maju ke provinsi. Kami ingin Bapak dampingi tiga hari di Kota Surya.”
Aku sempat bengong. Raka, murid kelas XI yang pendiam, atlet tunggal putra badminton yang jarang berbicara kecuali ketika ditanya.
Anak itu latihan tiap subuh, balik sekolah masih sempat nge-gym, sementara sebagian murid lain sibuk mengeluh tugas.
Meski begitu, dana sekolah terbatas. Tak ada penginapan mewah, kami bahkan harus berbagi satu kamar hotel sederhana untuk menghemat biaya.
Saat malam pertama tiba, aku duduk di sisi ranjang sambil memeriksa berkas lomba.
Raka baru selesai mandi, keluar hanya dengan handuk melilit pinggang.
Bukan pemandangan yang bermaksud mengundang apa-apa, hanya natural, seperti atlet yang sudah biasa disiplin dengan tubuhnya.
Tubuhnya proporsional, bahunya lebar, pinggang ramping. Aku tersenyum getir dalam hati. Jika dulu seusianya aku rajin olahraga, mungkin aku akan terlihat atletis juga.
Tapi masa lalu tak bisa diputar ulang, hanya bisa ditertawakan pelan.
“Pak, besok saya bisa, kan?” suara Raka memecah lamunanku.
“Tentu bisa. Kamu sudah sejauh ini. Nikmati saja pertandingan,” jawabku.
Pagi berikutnya, arena penuh sorak sorai. Aku duduk di tribun, melihat Raka memukul shuttlecock dengan kecepatan kilat.
Setiap jump smash seperti petir yang jatuh dari langit. Tangannya mantap, matanya fokus. Sementara jantungku serasa mau meledak. Entah kenapa, aku merasa seakan aku yang bertanding, bukan dia.
Raka berhasil masuk semifinal. Lawannya unggulan provinsi, gerakannya cepat dan agresif.
Raka beberapa kali hampir terjatuh menahan netting tipis, namun tetap bangkit lagi.
Sampai akhirnya pertandingan berakhir dengan angka 17–21. Ia menunduk, napasnya berat, keringat menetes deras.
Juara 3.
Bagiku, itu kemenangan besar. Tapi Raka berjalan keluar stadion seperti yang kalah total.
Di hotel malam itu, ia duduk di tepi ranjang, menunduk tanpa kata. Aku menepuk bahunya.
“Kamu luar biasa. Tidak semua orang bisa sampai sini. Banyak anak lain bahkan tak pernah mencicipi tingkat kota.”
“Tapi saya ingin menang, Pak,” suaranya pecah, matanya basah.
“Saya nggak mau bikin sekolah kecewa.”
“Sekolah bangga. Aku juga. Kamu bukan hanya kuat di lapangan, tapi juga kuat di hati. Keberanianmu jauh lebih besar daripada piala.”
Dia mengangkat wajah, dan untuk pertama kalinya aku melihat senyum kecil yang tulus.
“Terima kasih, Pak.”
Di perjalanan pulang ke sekolah, aku menatap jendela bus, memikirkan diriku sendiri. Betapa banyak hal dalam hidup yang ingin kuubah, tapi tak mungkin.
Namun melihat Raka, aku merasa sesuatu: masih ada generasi yang bisa melampaui kami.
Mungkin itu tujuan seorang guru. Bukan menjadi lebih hebat dari muridnya, tapi menjadi saksi ketika mereka terbang.
Raka berjalan pulang membawa medali perunggu. Tapi bagiku, rasanya seperti emas.
Dan untuk pertama kalinya setelah lama, aku merasa sangat bangga—bukan kepada diriku, tapi kepada masa depan.

Posting Komentar untuk "Di Hotel Bersama Muridku"