Si Cakep yang Sering Tidur di Kosku

Riki sering main ke kosku, buat ngerjakan tugas. Langit sore yang kemerahan selalu menyelimuti jalan raya saat dia tiba—pakai sepeda ontel yang warnanya biru muda, rambutnya tergeletak rapi di leher, senyumnya secercah matahari yang mau terbenam.

Kami sekelas, dan entah kenapa sangat akrab; Riki sering ngajak aku makan, nongkrong bahkan nugas bareng.

Kadang dia dateng tanpa ngabarin, cuma ketuk pintu kosku dengan jempolnya yang kecil, sambil ngomong, “Woy, ada tugas matkul Struktur yang bikin pusing banget, bantu dong!”

Entah kenapa dia mau berteman denganku. Dia cakep, slim dan magnet cewek-cewek sekelas.

Setiap kali dia masuk kelas, pasti ada beberapa cewek yang meliriknya, berbisik-bisik sambil tersenyum.

Aku cuma cowok biasa yang terkesan cupu—rambut yang selalu kacau, baju yang cuma ada warna abu dan hitam, dan seringkali ketinggalan deadline tugas kalau nggak ada dia.

Namun Riki bilang kalau berteman denganku itu nyaman, santai tanpa beban dan tendensi.

“Kamu nggak pernah nanya-nanya hal yang ngebosenin,” ujarnya sembari ngunyah keripik yang kubeli.

“Kalau sama lu, gue bisa jadi diri gue sendiri.”

Dia bahkan sering tertidur di kosku. Saat tidur aja dia masih keliatan cakep—bibirnya sedikit terbuka, napasnya lembut, ada bulu mata yang panjang yang bergerak setiap kali dia mimpi.

Kadang pengen pegang pipinya, sentuh lembut kulitnya yang mulus, tapi aku cuma berani diam, ngeliatinnya dari kejauhan, sambil berpikir betapa beruntungnya aku bisa punya temen sepertinya.

Suatu kali, dia tidur sambil bersandar di pundakku, dan aku bingung mau gerak apa—jantungku berdebar kencang, tapi rasanya begitu tenang, seolah-olah semua masalah di dunia hilang.

Dia juga pernah ketiduran malem-malem, akhirnya nginep sampe pagi. Itu hari hujan deras turun, angin sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela. Kami baru selesai mengerjakan tugas makalah yang panjang banget tentang Sejarah Indonesia, dan dia tiba-tiba menguap besar.

“Gue lelah banget, deh,” katanya, mata sudah mulai berat. “Boleh nongkrong sebentar lagi nggak?” Aku ngangguk, dan sebentar lagi dia sudah tertidur di kasur kosku yang sempit.

Aku bikin ranjang di lantai, ngeliatin dia tidur sambil membungkus dirinya dengan selimut tebal. Jam segini, semua orang pasti sudah tidur, dan cuma aku yang terjaga, mendengar hujan dan napasnya yang teratur.

Pagi harinya, dia bangun dengan rambut yang lebih kacau dari biasanya, senyumnya ceria.

“Makasih ya, lu, udah mau gue nginep,” ujarnya.

Aku cuma bisa tersenyum balik, hatiku terasa hangat tapi juga sedih. Sedih karena dia nggak tahu apa-apa—tentang perasaan yang kubendung selama ini.

Apakah Riki tau kalau aku gay?

Pertanyaan itu selalu muncul di benakku setiap kali dia ngucapin “sama lu seneng banget, deh” atau saat dia memelukku dengan semangat setelah lulus ujian.

Aku takut memberitahunya, takut dia akan pergi, takut semua keakraban yang kita punya akan hancur.

Kadang aku berpikir, mungkin dia tahu tapi memilih diam—mungkin dia hanya mau berteman, tanpa ada yang lebih.

Atau mungkin dia sama sekali nggak tahu, dan aku cuma orang yang nyaman buat dia.

Hari ini, Riki lagi nugas bareng di kosku. Dia duduk di meja, mata terfokus ke layar laptop, sambil menggigit ujung pena.

Langit sudah gelap, lampu neon kosku menyinari wajahnya yang cakep. Aku duduk di sampingnya, coba fokus ke tugas tapi mata selalu terarah ke dia.

“Lu males banget ya, cuma liatin gue doang,” ujarnya tanpa menoleh. Aku kaget, malu.

“B-bukan, cuma bingung soalnya ini,” jawabku tergesa-gesa. Dia menoleh, tersenyum lebar. “Gue bantu deh, yuk.”

Saat dia mendekat, bau wangi rambutnya menyebar di udara. Aku menutupi ragu-ragu dengan senyum. Mungkin sepertinya cukup untuk sekarang—hanya berteman, di sela-sela tugas dan mimpi yang tak pernah kugatakan.