Setelah Aku Ngekos Sama Tristan
Aku gak bisa nolak waktu Papa bilang aku harus ngekos bareng Tristan, anak temen kantornya.
Katanya sih biar ada temen di kota baru, biaya kos bisa dibagi dua, dan akhirnya kami nyewa tempat yang lumayan oke—kamar luas, kasur king size, kamar mandi dalam, lokasi deket kampus. Aku cuma bisa mengangguk pasrah.
Tristan aku kenal cuma sekilas. Kami satu kota tapi beda SMA, beda circle.
Dia tipe cowok yang selalu kelihatan stylish tanpa effort: rambut agak messy tapi kece, badan atletis dari gym, kulit sawo matang mulus.
Kalau satu sekolah, pasti aku masuk geng cupu dan dia geng keren. Aku sih rapi, agak pendiem, tapi kalau soal muka sama postur, gak kalah lah.
Kamar kami cuma satu ranjang gede. Tristan punya kebiasaan tidur pake boxer doang. Boxer hitam atau abu-abu tipis yang suka nempel banget di badan.
Pagi-pagi aku sering bangun duluan, dan pemandangan itu selalu ada. Dia tidur telentang, selimut cuma nutupin setengah pinggang.
Dada bidangnya naik-turun pelan, otot pektoralnya jelas terlihat, puting kecil cokelatnya mengeras kena udara pagi.
Perutnya rata, ada garis V-line tajam yang turun ke selangkangan. Lalu boxer itu... kainnya ketat, membentuk kontolnya yang lagi setengah tegang khas morning wood.
Bentuk kepalanya bulat besar, agak miring ke kiri, urat-urat halus di batangnya samar-samar kelihatan lewat bahan tipis.
Panjangnya kelihatan lumayan meski belum full erect, dan kantongnya penuh, bulat kencang.
Setiap kali aku buru-buru buang muka, tapi gambar itu udah nyantol di otak.
Bulan pertama biasa aja. Kami ngobrol ringan, bagi tugas bersih-bersih, main game bareng. Tapi lama-lama ada yang bergeser di dalam kepalaku.
Aku mulai sadar kalau aku sering nyuri pandang lebih lama. Saat dia baru keluar dari kamar mandi, cuma pake sempak navy super fit—bahan lycra yang nempel sempurna di kulit masih basah.
Air menetes dari rambutnya, lehernya mengkilap, bahunya lebar, lengan berotot halus.
Pinggangnya ramping, V-line-nya dalam dan tajam, membingkai selangkangan yang penuh.
Sempak itu membungkus bokongnya yang bulat keras, dan di depan... ya Tuhan. Kontolnya lagi rileks tapi tetap tebal, kepalanya menekan kain sampai membentuk tonjolan halus yang jelas.
Aku pernah berdiri di ambang pintu, pura-pura nyari sesuatu, tapi mataku susah lepas. Itu indah. Terlalu indah.
Aku mulai bilang ke diri sendiri: ini cuma estetika. Tubuh manusia yang sehat, proporsional, itu kan seni.
Tristan adalah patung hidup yang kebetulan tidur satu ranjang sama aku.
Malam itu hujan deras, listrik padam. Kami rebahan berdampingan cuma pake lampu emergency redup.
Tristan cuma boxer, aku kaos longgar sama celana pendek. Badannya hangat, bahunya sering nyenggol lenganku.
Aku bisa cium bau sabun mandi bercampur keringat cowok yang samar-samar enak.
Tiba-tiba dia bergeser lebih dekat. “Dingin gak?” tanyanya pelan, suaranya serak.
“Agak,” jawabku, padahal jantungku udah kenceng.
Dia tarik selimut lebih tinggi, tangannya “gak sengaja” nyentuh pinggangku. Kulitnya panas. Jari-jarinya pelan mengelus, gerakan kecil yang terlalu teratur untuk dibilang tak sengaja. Aku diam saja, napas mulai pendek.
Aku menoleh. Matanya terbuka, menatapku dalam gelap. “Lo gak keberatan... kalo kita lebih deket?”
Aku cuma mengangguk kecil.
Dia mendekat. Bibirnya mendarat di leherku dulu, cuma kecupan ringan. Lalu turun ke tulang selangka. Aku menggigil.
Tangannya merayap masuk ke bawah kaosku, mengelus perutku, jempolnya menyapu puting yang langsung mengeras. Aku mendesah pelan.
“Tris...” suaraku serak.
“Shh... santai.”
Dia tarik kaosku lepas. Mulutnya langsung menyelimuti putingku, lidahnya bermain pelan, menggigit ringan.
Tanganku meraih rambutnya tanpa sadar. Badanku melengkung sendiri.
Boxernya udah membentuk tenda gede sekarang. Aku merasakan kekerasannya menempel di pahaku—panas, keras, tebal.
Aku turunkan tangan, menyentuh dari luar kain. Dia mengerang dalam, menggigit putingku lebih keras.
“Lo pengen liat?” bisiknya.
Aku mengangguk.
Dia menurunkan boxer-nya pelan. Kontolnya berdiri tegak: panjang, tebal, urat-urat menonjol jelas, kepalanya merah mengkilap, sudah bocor sedikit di ujung.
Aku menatap lama, seperti melihat sesuatu yang selama ini cuma bisa kupandang curi-curi.
Aku menyentuhnya langsung. Kulitnya panas, lembut di luar, keras di dalam. Aku mengocok pelan. Dia mengerang, pinggulnya maju sendiri.
Lalu giliran dia. Celanaku ditarik turun. Tangannya membelai kontolku yang sudah ngaceng keras. Kami saling sentuh dalam diam, hanya suara napas, desahan kecil, dan gesekan kulit.
Malam itu kami saling telan. Bibir bertemu, lidah menari liar. Tubuh bergesekan, panas, lengket, nikmat.
Dan untuk pertama kalinya, keindahan yang selama ini kugumi dari kejauhan, sekarang ada di tanganku—dan aku boleh menikmatinya sepenuhnya.

Posting Komentar untuk "Setelah Aku Ngekos Sama Tristan"