Setelah Ngekos Sama Tristan (2)
Pagi itu cahaya matahari sudah nyusup lewat celah gorden tipis, bikin kamar terang pelan-pelan.
Aku terbangun duluan, badan masih lengket keringat semalem. Tristan tidur miring menghadap ke luar, punggungnya lebar, otot punggungnya naik-turun pelan bareng napasnya.
Boxer-nya udah turun setengah, bokongnya yang bulat keras kelihatan jelas.
Aku gak tahan, merapat pelan dari belakang, peluk pinggangnya erat, kontolku yang masih setengah tegang langsung nempel di celah bokongnya.
Dia langsung gelisah, tangannya buru-buru nepis lenganku.
“Eh sorry Dav, semalem aku eror banget karena stress tugas kampus.”
Aku cuma menggeleng pelan, pura-pura santai. “Gpp kok.” Padahal dalam hati aku kaget.
Semalem dia yang mulai—dia yang tarik aku, dia yang bisik “gue pengen lo masuk”, dia yang mengerang paling kenceng waktu aku dorong pelan-pelan.
Tapi pagi ini kayak orang beda. Mungkin emang cuma pelampiasan stress, pikirku. Aku gak mau ribet.
Kami bangun, rapiin ranjang yang berantakan parah. Selimut kusut, bantal jatuh, ada noda basah di sprei yang bikin aku senyum kecil sendiri.
Tristan buru-buru lipat selimut, pura-pura sibuk. Aku bantu tanpa banyak omong.
Pas mau ke kamar mandi, dia tiba-tiba berhenti di depanku. Matanya masih agak merah, tapi ada senyum kecil di bibirnya. “Tunggu dulu,” katanya pelan.
Tanpa aba-aba, dia jongkok di depanku. Kaosku masih setengah naik, celana pendek udah diturunin.
Mulutnya langsung nyedot putingku yang kanan, lidahnya muter-muter pelan sambil tangan kirinya meremas yang kiri.
Aku mendesah, tangan meraih rambutnya. Dia gak berhenti di situ. Turun lebih bawah, kontolku yang udah ngaceng keras langsung disambut mulut hangatnya.
Dia ngulum dalam, lidahnya main di kepala, tangannya mengocok pelan di pangkal. Aku pegang kepalanya, pinggul maju sendiri.
Dia ngeliat ke atas, mata kami ketemu—penuh nafsu lagi, meski tadi pagi dia bilang “eror”.
“Dav… gue pengen lo ngewe gue,” bisiknya pas lepas kontolku dari mulut.
Suaranya serak. Dia ngambil kondom dan pelumas.
Aku gak jawab pakai kata-kata. Cuma angguk, tarik dia berdiri, peluk dari belakang.
Kami jalan bareng ke dekat jendela besar yang menghadap balkon kos.
Pagi masih sepi, cuma suara burung sama angin pelan. Dia berdiri menghadap jendela, tangan kanan-kiri pegang kusen jendela, bokongnya maju sedikit ke belakang.
Aku ambil kondom, pasang cepet. Pelumas aku tuang banyak di jari, lalu masukin pelan ke lubangnya.
Dia mengerang pelan, kepala menunduk, rambut jatuh nutupin mata. “Pelan dulu ya…”
Aku olesin pelumas di kontolku juga, lalu posisikan. Kepala kontolku menyentuh lubangnya yang udah licin. Dorong pelan.
Dia menggigit bibir bawah, napasnya tersendat. Setengah masuk, aku berhenti, kasih dia waktu.
Tanganku merangkul pinggangnya, jari-jari main di perutnya yang rata, turun ke kontolnya yang udah keras lagi.
“Masuk semua, Dav,” desahnya.
Aku dorong lagi, sampai pangkal. Panas, ketat, nikmat banget. Kami diam sebentar, cuma napas saling kejar.
Lalu aku mulai gerak—pelan dulu, keluar-masuk setengah, biar dia terbiasa.
Dia mengerang setiap kali aku masuk dalam, bokongnya maju balik nyambut doronganku.
Aku percepat. Tanganku naik ke dadanya, cubit putingnya pelan. Dia melengkungkan punggung, kepala ke belakang nyender di bahuku. “Ahh… lebih keras…”
Aku kasih apa yang dia minta. Doronganku jadi lebih dalam, lebih cepat.
Suara kulit bertabrakan pelan, campur desahan kami berdua. Jendela dingin nempel di telapak tangannya, tapi badannya panas banget.
Kontolnya bergoyang-goyang setiap aku hantam, bocor cairan bening di ujung.
Aku tarik pinggangnya lebih erat, dorong habis-habisan. Dia mengerang keras, “Dav… gue mau keluar…”
Aku gak tahan lagi. Dorong terakhir dalam-dalam, ngerasa dia berkedut di dalam. Aku ikut keluar bareng dia—panas, banyak, kondom penuh. Kami diam, napas ngos-ngosan, badan saling tempel.
Dia menoleh, senyum tipis. “Makasih… tadi pagi gue beneran eror. Tapi sekarang udah enakan.”
Aku cuma ketawa kecil, cium tengkuknya. “Kapan-kapan stress lagi, bilang aja.”
Kami mandi bareng setelah itu. Air hangat, sabun saling gosok, tangan saling jelajah lagi—tapi kali ini lebih santai, lebih manja.
Mungkin ini baru awal. Mungkin cuma pelampiasan. Tapi yang pasti, ranjang king size kami bakal makin sering berantakan.

Posting Komentar untuk "Setelah Ngekos Sama Tristan (2)"