Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tubuh yang Kutunggu di Pagi Hari


Pagi itu, seperti biasa, aku berdiri di balkon lantai dua rumahku, secangkir kopi panas di tangan, memandang ke arah rumah sebelah. 

Rumah itu baru saja dihuni oleh keluarga muda yang pindah sebulan lalu. Mereka tampak bahagia, pasangan suami-istri yang masih segar, tanpa anak. 

Istrinya, seorang wanita karir yang selalu rapi dengan setelan kantor, berangkat sebelum jam tujuh pagi. 

Aku sering melihatnya melaju dengan mobil kecilnya, meninggalkan suaminya sendirian di rumah.

Suaminya, yang kutahu bernama Andi dari obrolan singkat di pagar, adalah seorang remote worker. 

Dia bekerja dari rumah, menghabiskan hari di depan laptop, dan sesekali keluar untuk bertemu klien di kafe terdekat. 

Tapi rutinitas paginya yang selalu membuatku terpaku: membersihkan pekarangan kecil di depan rumah mereka. 

Shirtless, hanya mengenakan celana pendek olahraga yang longgar, dia menyiram tanaman, menyapu daun kering, atau sekadar merapikan pot bunga. 

Tubuhnya yang proporsional—otot dada yang tegas, perut rata dengan garis-garis samar, dan bahu lebar—berkilau di bawah sinar matahari pagi. 

Wajahnya manis, dengan senyum tipis yang sesekali muncul saat dia menyapa tetangga lain. 

Dari balkonku, aku bisa melihat setiap lekukan tubuhnya dengan jelas, seperti patung hidup yang tak sengaja dipamerkan.

Awalnya, aku mengira itu hanya kebetulan. Tapi lama-kelamaan, pandanganku berubah. 

Setiap pagi, tubuhku mulai bereaksi. Hangat yang aneh menyebar dari dada ke perut bawah, membuat jantungku berdegup lebih cepat. 

Secara ilmiah, ini adalah respons fisiologis alami ketika seorang wanita mengalami gairah seksual. 

Saat otak menerima stimulus visual yang menarik—seperti tubuh pria yang atletis dan maskulin—ia memicu pelepasan hormon seperti estrogen dan testosteron. 

Hormon-hormon ini meningkatkan aliran darah ke area genital, menyebabkan pembengkakan pada labia dan klitoris, serta produksi cairan lubrikasi di vagina. 

Ini adalah mekanisme evolusi untuk mempersiapkan tubuh terhadap kemungkinan hubungan intim, meskipun tanpa sentuhan fisik apa pun. 

Tubuhku menghangat, napasku memburu, dan tiap pagi, vaginaku sering basah dibuatnya, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang membangunkan hasrat yang lama tertidur.

Ini tidak baik, aku tahu. Aku sudah menikah, dengan suami yang pergi kerja sejak subuh dan anak-anak yang berangkat sekolah tepat pukul enam. 

Pagi hari di rumah ini hanya aku sendirian, ditemani kesunyian dan bayangan dari pekarangan sebelah. 

Tapi kenapa aku bisa tertarik dengan pria muda seperti dia? Mungkin karena rutinitas rumah tanggaku yang monoton, di mana suamiku lebih sibuk dengan pekerjaan daripada memperhatikan aku. 

Atau mungkin karena Andi mewakili sesuatu yang hilang: kegairahan masa muda, tubuh yang masih segar, dan kebebasan yang tak terikat. 

Aku bukan wanita yang mudah tergoda, tapi setiap pagi, saat dia muncul di pekarangan, aku merasa hidup kembali—meski hanya dari balik balkon, diam-diam.

Suatu pagi, saat aku sedang memandangnya, Andi mendongak. Matanya bertemu dengan mataku. Dia tersenyum, melambai ringan. 

Aku membalas, tapi hati kecilku bergetar. Apakah dia tahu? Apakah ini awal dari sesuatu yang lebih? 

Atau hanya khayalan pagi yang akan lenyap saat matahari naik lebih tinggi? 

Aku tak tahu, tapi untuk saat ini, aku biarkan hangat itu tetap ada.

Posting Komentar untuk "Tubuh yang Kutunggu di Pagi Hari"