MELUPAKAN TAMA (2)
SEASON 2: MELUPAKAN TAMA
Bagian 2 – Kata yang Tak Tersampaikan
Hari-hari tetap berjalan, meski lambat. Tapi aku lelah menjadikan waktu sebagai satu-satunya penawar luka.
Maka aku memutuskan untuk sibuk.
Bukan sibuk yang dipaksakan agar lupa, tapi sibuk yang bisa jadi pelampiasan. Sesuatu yang membuatku merasa hidup kembali—meski sedikit.
Aku menemukan satu komunitas sastra di kota ini. Awalnya hanya iseng datang ke diskusi mingguan mereka di sebuah kafe kecil.
Tapi malam itu, ketika seseorang membacakan puisi yang sangat personal tentang kepergian dan kehilangan, aku merasa seperti sedang bercermin. Kata-kata bisa jadi rumah. Bahkan untuk luka-luka yang tak punya tempat pulang.
Sejak itu, aku mulai menulis.
Puisi pertamaku kutulis tengah malam, dengan tangan sedikit gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena jujur. Dan jujur, kadang lebih sulit daripada melupakan.
Aku beri judul: "Tubuh yang Tak Lagi Aku Peluk"
Tubuh yang Tak Lagi Aku Peluk
Oleh: Avif
Ada tubuh yang dulu hangat
tidur sejengkal dari napasku
tak pernah kutanya, milik siapa?
karena kupikir, cukup aku merasa
Kulitnya seperti malam
tenang, gelap, dan dalam
yang kuraba bukan sekadar dada
tapi hening yang tak bisa kudefinisikan
Kini tubuh itu jauh,
tapi baunya masih menempel di ujung ingat
terkadang lewat angin
terkadang lewat mimpi yang tak kuminta
Aku tak lagi memeluknya
bukan karena tak ingin
tapi karena pelukan ini
hanya akan membuatku ingin lebih
dan lebih lagi
sampai hancur
Saat kubacakan puisi itu dalam salah satu sesi komunitas, mereka tak tahu siapa “tubuh” yang kumaksud. Tapi aku tahu. Dan entah kenapa, setelah membacakannya, hatiku terasa sedikit lebih lapang. Seperti mengeluarkan sesuatu yang sudah terlalu lama kusimpan.
Mungkin... aku tak harus benar-benar melupakan Tama.
Mungkin cukup dengan belajar berdamai dengan kehadirannya—dalam kenangan, dalam puisi, dalam diam.
Posting Komentar untuk "MELUPAKAN TAMA (2)"