Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELUPAKAN TAMA (1)




SEASON 2: MELUPAKAN TAMA
Bagian 1 – Kos Baru, Luka Lama

Pindah kos ke tempat yang jaraknya hanya 300 meter dari kos lama terdengar seperti keputusan bodoh.

Bahkan si ibu kos baru sempat bertanya, “Kerjanya masih di tempat yang sama, kan? Terus kenapa pindah ke sini?”

Aku hanya tersenyum dan menjawab ringan, “Pengen suasana baru.”

Padahal, bukan suasananya yang ingin kuubah. Tapi perasaanku.

Dan sungguh, tidak ada yang baru di kos ini selain cat dinding yang lebih pucat dan suara motor dari jalanan yang sedikit lebih bising. Sisanya tetap sama: kamar kecil, tempat tidur sempit, dan malam-malam sepi yang penuh pikiran yang tak bisa diam.

Namanya Tama.

Wajahnya masih muncul di kepalaku saat aku sedang mengaduk mi instan, saat memandangi baju-baju di lemari, bahkan saat aku membuka pintu kamar dan berharap—entah kenapa—ia berdiri di sana.

Untungnya, meski kami bekerja di kantor yang sama, divisi kami berbeda. Jadwalnya acak karena shift, sementara aku selalu masuk pagi. Jadi kemungkinan untuk bertemu sangat kecil. Kadang aku merasa lega, kadang malah sebal karena ternyata aku menunggu momen berpapasan itu.

Dan memang sesekali itu terjadi.

Saat mengantri di warung padang yang sama, atau duduk berseberangan di kedai kopi yang tak terlalu ramai. Kami akan bertukar senyum. Sapa ringan. Lalu kembali sibuk dengan ponsel masing-masing, pura-pura tidak sedang saling menghindar.

Aku ingin sekali bertanya, Kamu baik-baik saja, Tam? Apa kamu pernah kangen?

Tapi mulutku terlalu sibuk membungkam hatiku.

Setiap kali selesai momen singkat seperti itu, aku selalu merasa hampa. Bukan karena Tama bersikap dingin—dia tetap ramah, tenang, seperti biasa—tapi karena aku sadar, tidak ada ruang lagi untukku di hidupnya lebih dari itu.

Aku mencoba berbagai cara untuk melupakan.

Mendengarkan playlist baru. Ganti gaya rambut. Ikut kelas gym yang cuma bertahan tiga kali. Bahkan sempat berpikir untuk uninstall semua media sosial agar tak tergoda membuka profilnya. Tapi semua itu hanya pelarian yang sia-sia.

Lalu di suatu malam, aku duduk sendiri di atas kasur, menatap jendela, dan bertanya:
Kenapa aku harus melupakan Tama?

Apa salah kalau aku masih mengingat seseorang yang pernah membuatku merasa paling dilihat di dunia?

Apa salah kalau aku masih berharap, meski hanya sedikit, bahwa perasaan ini tak sepenuhnya sepihak?

Mungkin aku terlalu keras pada diriku sendiri. Mungkin aku tak harus buru-buru menyembuhkan sesuatu yang bahkan belum bisa kupahami. Karena kenyataannya... Tama bukan cuma cinta yang tak terbalas. Dia adalah bagian dari hidupku yang terasa paling nyata.

Dan kadang, yang paling sulit bukan melupakan seseorang. Tapi menerima bahwa dia akan tetap tinggal—di kepala, di dada, dan di doa—meski tak pernah menetap di sisi kita.

CERPEN

Posting Komentar untuk "MELUPAKAN TAMA (1)"