Sekamar dengan Tama (Bagian 9-akhir)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 9)
Oleh Avif
Aku tak sanggup lagi berpura-pura.
Hari-hari setelah aku memeluk Tama, hatiku bukannya tenang. Justru makin gelisah. Pelukan itu seperti membuka luka yang lebih dalam—menegaskan bahwa yang kubutuhkan bukan hanya kehangatannya, tapi kehadirannya seutuhnya, yang tak bisa kudapatkan.
Aku tahu Tama tak salah. Dia sudah jujur sejak awal. Tapi kejujuran itu tak mampu menghentikan perasaanku tumbuh. Dan aku mulai tersiksa dengan rasa ingin memiliki yang pelan-pelan berubah jadi luka yang tak terlihat.
Tiap hari aku berusaha terlihat baik-baik saja. Menyapa Tama sewajarnya. Kadang masih makan bareng kalau waktunya pas.
Tapi tiap kali mataku menangkap cara dia bicara dengan teman lain, tertawa lepas tanpa beban, aku merasa kecil dan terbuang. Dan itu membuatku makin yakin: aku harus pergi.
Namun aku terlalu pengecut untuk bilang langsung. Terlalu takut melihat matanya saat aku berkata, “Gue gak bisa dekat lo lagi.”
Maka aku putuskan untuk diam-diam pindah kos. Meninggalkan semuanya tanpa penjelasan, tanpa pamit.
Aku kemas barang-barangku perlahan, saat Tama sedang kerja shift malam. Aku pastikan tak ada yang tertinggal, kecuali satu—sebuah mug hitam polos yang dulu pernah dia pinjam, lalu kubiarkan jadi milikku karena kami terlalu sering pakai bergantian.
Aku sengaja meninggalkannya di atas meja, seperti jejak terakhir.
Sekitar pukul dua pagi, aku keluar dari kos. Sunyi. Bahkan kucing-kucing pun sedang tidur. Aku melangkah pelan, menuruni tangga, lalu menoleh sekali ke kamar Tama yang lampunya mati.
Entah kenapa aku berharap dia tiba-tiba bangun, membuka pintu, dan melihatku. Tapi tentu tidak. Dunia tetap sunyi. Dan aku pergi.
Kosanku yang baru tak jauh. Tapi rasanya seperti pindah ke dimensi lain. Tak ada aroma kopi yang biasa Tama seduh. Tak ada suara pintu geser dari kamarnya. Tak ada celotehnya soal kerjaan saat pulang larut malam. Kosong.
Selama dua hari aku bungkam. Menghindari chat. Menghapus notifikasi dari grup kos. Dan Tama belum menghubungiku.
Mungkin dia pikir aku lagi sibuk. Atau... dia memang tahu aku butuh ruang dan memilih untuk membiarkanku pergi dengan tenang.
Tapi di malam ketiga, saat aku membuka pintu kamar karena udara terlalu pengap, aku melihat mug hitam itu di depan ambang. Bersih. Ditaruh rapi, dengan selembar kertas kecil terselip di bawahnya:
“Gue gak nanya kenapa lo pindah. Tapi lo tahu, gue ngerti. Jaga diri, Fif.”
—Tama
Tanganku bergetar.
Air mataku jatuh.
Dan untuk pertama kalinya sejak pergi... aku menangis bukan karena ingin memiliki. Tapi karena tahu: Tama mengerti, meski tak pernah kuminta.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 9-akhir)"