Anaknya Ibu Kos
Setelah berhari-hari mencari, akhirnya aku menemukan sebuah kos-kosan yang masih kosong.
Tapi sayangnya, bukan bangunan terpisah seperti yang kuharapkan. Ini lebih mirip rumah besar yang dibagi-bagi jadi beberapa kamar, dan pemiliknya tinggal di bagian depan.
Sebenarnya aku agak ragu. Aku lebih suka tempat yang privasinya terjaga, bukan yang "numpang" di rumah orang.
Tapi mengingat sudah putus asa cari tempat tinggal dan ini satu-satunya pilihan yang ada, akhirnya aku menerimanya.
Vibes rumahnya kayak rumah tua peninggalan zaman Belanda. Langit-langit tinggi, pintu kayu besar, dan koridor panjang dengan jendela-jendela lebar.
Suasananya tenang, tapi sedikit bikin merinding juga kalau malam.
Ibu kos, yang kukenal dengan sebutan Bu Ningsih, orangnya ramah tapi tegas. Saat beliau mengajakku melihat kamar yang kosong, kami melewati lorong dekat kamar mandi.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka dan seorang cowok keluar hanya memakai handuk.
“Azam!” Bu Ningsih membentak. “Berapa kali Mama bilang jangan mandi di kamar mandinya anak kos! Kan ada kamar mandi keluarga!”
Cowok itu hanya nyengir sambil mengibas rambut basahnya. Tubuhnya atletis, tinggi, dan wajahnya… ya, oke banget untuk anak SMA.
“Maaf, Ma. Air di belakang lagi kecil,” katanya santai.
“Azam ini anak saya,” jelas Bu Ningsih padaku, sedikit cemberut. “Masih kelas tiga SMA, bandel banget.”
Aku cuma mengangguk, setengah canggung melihat anaknya yang masih bertelanjang dada jalan santai ke kamarnya, handuk doang yang nempel.
Waktu tahu aku kuliah di jurusan Matematika, mata Bu Ningsih langsung berbinar.
“Kebetulan banget! Azam itu nilainya jeblok terus. Kamu bisa nggak, ngajar dia les privat? Nanti ibu tambahin uang kosannya.”
Aku nyaris tertawa. Awalnya agak terpaksa tinggal di rumah tua ini, tapi sekarang malah disuruh jadi guru privat remaja cowok cakep yang bandel. Anjay, dunia ini aneh juga.
-00-
Azam, meskipun bandel, sebenarnya cerdas. Cuma malas. Dia anak IPS, jadi pelajaran matematikanya nggak seberat anak IPA, tapi tetap aja dia ogah-ogahan.
Hari pertama aku ngajarin program linier, dia malah sibuk coret-coret kertas gambar mobil.
“Azam, dengerin dulu,” kataku sabar.
“Program linier itu bagian dari matematika yang dipakai buat nyari nilai maksimum atau minimum dari suatu fungsi, biasanya untuk masalah ekonomi atau logistik. Misalnya gimana cara dapet untung paling gede dari dua jenis produk yang bisa diproduksi dalam jumlah terbatas.”
“Hmm… berarti kayak dagang gitu ya?” katanya sambil menggambar spion mobil.
“Ya… semacam itu. Cuma ini pakai perhitungan. Ada syarat-syaratnya, terus digambar di koordinat, nanti kita cari titik potongnya. Udah belajar grafik kan?”
“Ngerti-ngerti dikit…” katanya, masih nggak lepas dari pulpennya. “Tapi lebih ngerti kalo kamu yang jelasin sih.”
Aku mendengus. Sok manis.
-00-
Malam-malam setelah les, kadang Azam ngajak aku nongkrong bareng temen-temennya.
Dia gampang akrab, cerewet, dan agak julid, tapi bikin suasana hidup. Kadang dia nyolek-nyolek aku sambil bisik,
“Eh liat tuh cowok itu, gay. Tapi sok-sokan suka cewek.” Aku cuma tertawa.
Suatu malam, kami terlalu larut main game dan ngobrol. Azam ketiduran di kamarku, masih pakai seragam sekolah. Aku biarin aja, toh dia cuma tidur.
Tapi pas aku mulai tertidur juga, tiba-tiba terasa ada yang meluk dari belakang.
Aku refleks kaget dan langsung noleh. “Azam?”
Dia membuka mata setengah sadar. “Hah? Eh… maaf. Aku biasa meluk guling kalo tidur.”
“Guling kamu bentuknya gitu ya?” godaku.
Dia ketawa kecil, tapi nggak ngelepasin pelukannya. Aku bingung harus marah atau ngebiarkan.
“Boleh nggak… kayak gini sebentar aja?” katanya pelan.
Aku diam. Entah karena kasihan, nyaman, atau bingung juga perasaanku sendiri. Tapi malam itu aku nggak berkata apa-apa, cuma menatap langit-langit kamarku yang pelan-pelan berubah jadi tempat paling aneh sekaligus paling hangat dalam hidupku.
Dan besoknya, les matematika kami berlanjut. Tapi sejak malam itu, entah kenapa Azam jadi lebih semangat nanya soal program linier. Entah karena dia mulai paham... atau karena dia mulai menikmati waktu les-nya lebih dari sekadar pelajaran.
Posting Komentar untuk "Anaknya Ibu Kos"