Sopir itu Kini BFku (7)
Malam itu udara cukup hangat. Mereka duduk di beranda rumah, hanya diterangi cahaya kuning redup dari lampu taman dan suara jangkrik di kejauhan.
Di antara dua gelas teh dan keheningan, Bima melempar pertanyaan yang selama ini cuma ia simpan dalam kepala.
“Menurut lo, Gal... penting gak sih soal role?”
Galih menoleh pelan, mengernyit.
“Role? Maksudnya... dalam hubungan?”
Bima mengangguk pelan. Matanya tak menatap Galih langsung, malah menatap kaki sendiri.
Galih mengangkat bahu.
“Aku sih fleksibel aja. Gak terlalu mikirin. Makanya... ya aku vers.”
Bima reflek menoleh, matanya melebar. “Seriusan?”
Galih mengangguk kalem.
“Iya. Kadang hidup lebih ringan kalau gak harus milih sisi terus.”
Bima menggaruk tengkuknya yang gak gatal.
“Gue... gue gak tahu deh. Gue cuma gak mau lu nganggep gue boti.”
Galih menyeringai. “Kenapa takut banget dibilang boti?”
“Gak takut,” jawab Bima cepat. “Gue cuma... gak mau lu nganggep gue begitu aja. Gue tuh cowok. Gue pengen jadi cowoknya.”
Galih mengangkat alis. “Jadi kamu top?”
“Pengennya gitu.”
“Pengennya? Kok ‘pengennya’? Feel kamu ke mana?”
Bima menghela napas panjang, menatap langit gelap di atas mereka.
“Gue bingung, anjirrr… Gue pengen tetep jadi cowoknya, eh maksudnya... ya, gue tetep cowok kan?”
Galih tertawa pelan, lembut tapi bikin dada Bima makin sesak.
“Ya kamu emang cowok. Gimana sih,” ucap Galih, nadanya seperti kakak yang menenangkan adik kecil yang overthinking.
Bima buru-buru mengalihkan topik.
“Ah udahlah, jangan bahas itu lagi. Ribet.”
Galih tersenyum dan tak memaksa. Tapi diam-diam, ia bisa merasakan sesuatu dalam diri Bima. Bukan sekadar bingung. Tapi ada ruang yang sedang retak pelan-pelan, membuka celah baru untuk rasa yang sebelumnya ditahan.
-00-
Malam-malam berikutnya berjalan biasa—setidaknya di mata orang rumah. Tapi di dalam hati Bima, ada yang terus berdenyut.
Ia merasa berbeda sejak kehadiran Galih. Bukan seperti punya bodyguard. Lebih dari itu. Rasanya seperti... punya kakak.
Seseorang yang bisa diandalkan, yang ada saat ia butuh, yang bisa diajak ngobrol aneh-aneh tanpa takut dihakimi.
Dan malam itu, saat mereka selesai nonton film di ruang tengah, Bima mendadak membuka suara.
“Gal… malam ini tidur di kamar gue aja, ya.”
Galih yang sedang membereskan gelas minum menoleh cepat.
“Hah? Tidur bareng?”
“Iya lah, maksud gue sekamar. Gue lagi gak bisa tidur sendiri. Kosong banget kamar gue.”
Galih menatapnya lama.
“Kayaknya gak pantas deh. Mas—eh, Bima itu majikanku. Gimana coba kalau ketahuan?”
“Yaelah. Kan kita pernah tidur sekamar pas nginep di hotel.”
“Itu... konteksnya kerja. Kalau di rumah, beda.”
Bima berdiri dari sofa, menatap Galih dengan ekspresi polos setengah memaksa.
“Gue gak nyuruh lu masuk ranjang gue juga, Gal. Gue cuma pengen ada orang yang gue kenal di kamar gue malam ini.”
Galih terdiam. Lalu mengangguk pelan.
“Oke. Tapi gue tidur di sofa, ya?”
Bima mengangguk, puas. “Terserah. Yang penting satu kamar.”
Dan malam itu, dua dunia yang semula hanya dihubungkan kontrak kerja, perlahan mulai menyatu dalam keheningan kamar yang sunyi.
Tanpa dialog panjang. Hanya dua napas berbeda yang kini mulai menyelaraskan iramanya.
Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (7)"