Gara-gara Semvak
Pagi di kos Arjuna selalu gaduh, seperti radio rusak yang volumenya mentok. Arlo terbangun dengan satu mata terbuka, satu lagi masih menolak realita.
Jam di ponselnya menunjukkan 07.12. Kelas Metodologi Penelitian jam delapan. Dosen killer. Absen manual. Kombinasi sempurna untuk panik.
Ia meloncat dari kasur, membuka lemari, lalu berhenti. Celana dalamnya habis. Semua masih tergantung manis di tali jemuran belakang, basah, dingin, dan jelas belum siap dipakai.
Arlo mengumpat pelan. Dalam kondisi normal, ia akan pasrah. Dalam kondisi panik, logika sering cuti.
Matanya tertuju pada kasur sebelah. Tian masih tidur, bernapas teratur seperti orang tak punya utang akademik.
Arlo melangkah pelan, membuka laci Tian. Satu celana dalam terlipat rapi. Bersih. Kering. Tanpa pikir panjang, ia memakainya.
Hari itu berjalan kacau. Di kelas, Arlo tak bisa fokus. Bukan karena materi, tapi karena rasa gatal samar yang muncul perlahan, seperti bisikan dosa kecil. Sore harinya, Tian pulang lebih awal. Wajahnya tegang.
“Lo ambil celana dalam gue?” tanya Tian, datar tapi tajam.
Arlo terdiam. Bohong terasa kekanak-kanakan, jujur terasa bodoh.
“Cuma sekali. Tadi pagi. Darurat.”
Tian tertawa pendek. Bukan tawa lucu. Lebih mirip napas yang salah tempat.
“Darurat buat lo. Risiko buat gue.”
“Ah lebay. Dicuci juga, kan?” Arlo mencoba meremehkan, refleks lama saat merasa terpojok.
Tian mendekat.
“Lo tau nggak, kemarin gue baru sembuh dari iritasi kulit. Dokter bilang harus jaga kebersihan ekstra. Terus sekarang lo asal pake?”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari yang Arlo duga. Ia baru sadar, persahabatan mereka selama ini terlalu sering mengandalkan asumsi: asumsi saling maklum, asumsi saling santai, asumsi tubuh orang lain sekuat tubuh sendiri.
“Gue nggak mikir sejauh itu,” kata Arlo, suaranya turun.
“Itu masalahnya,” balas Tian.
“Di kos ini, kita sering berbagi apa aja. Kopi, sabun, charger. Tapi ada batas. Tubuh itu batas.”
Malamnya, suasana kos dingin. Tidak ada obrolan receh, tidak ada tawa. Arlo menggaruk pahanya, gatalnya makin jelas. Ironis. Seolah tubuhnya ikut menghakimi kebodohan pagi tadi.
Keesokan hari, Arlo pulang membawa plastik kecil dari apotek. Salep antijamur. Ia meletakkannya di meja, bersama satu bungkus celana dalam baru.
“Buat lo,” katanya pada Tian. “Dan… maaf. Gue belajar dengan cara yang nggak enak.”
Tian menatapnya lama. Lalu mengangguk pelan.
“Kos ngajarin kita banyak hal. Termasuk soal batas.”
Mereka tidak langsung akrab seperti semula. Tapi sejak hari itu, Arlo selalu punya satu cadangan di tas. Bukan cuma celana dalam—juga kesadaran bahwa kedekatan tidak pernah jadi alasan untuk sembrono.
Di kos kecil itu, mereka belajar: persahabatan yang sehat dimulai dari menghormati tubuh masing-masing.

Posting Komentar untuk "Gara-gara Semvak"