Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sopir itu Kini BFku (8)


Jelang tengah malam, kamar remang itu diselimuti keheningan. AC menyala lembut, dan suara detik jam terdengar samar di antara nafas yang tertata.

Galih, yang sejak awal tidur di sofa panjang di sudut kamar, tiba-tiba mengerutkan kening dalam tidurnya. 

Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang membebani. Ia terbangun perlahan, napasnya sedikit berat.

Begitu matanya terbuka, ia terkejut.

Ada lengan melingkar lembut di perutnya. Lengan itu hangat, dan berat tubuh seseorang terasa bersandar pada sisi tubuhnya.

Bima.

Sudah berbaring di sofa yang sempit itu, setengah tubuhnya menyusup ke sisi Galih, wajahnya lelap dengan napas tenang. 

Ada bekas kantuk yang belum sepenuhnya reda dari wajah itu, dan tangannya menggenggam erat kaus Galih seakan tak mau dilepas.

Galih menahan napas sejenak, tak percaya.

“Bim...” bisiknya sambil menyentuh bahu pemuda itu, hati-hati.

Bima menggeliat, tapi tak membuka mata. “Hmm... hangat... jangan pindah...”

“Loh, kamu gimana bisa ke sini? Ini sofa sempit, Bim,” bisik Galih lagi, setengah panik.

Tapi Bima cuma meringkuk makin dekat. 

“Gue gak bisa tidur... gue pengen peluk... kayak kemarin di hotel... nyaman…”

Galih hanya bisa menghela napas panjang. Wajahnya sedikit memerah karena kebingungan dan... sesuatu yang lain yang ia tak mau akui. Ia memandangi wajah Bima yang tertidur lelap, lalu menatap langit-langit sejenak.

Dia nyerah.

Sofa sempit itu jadi tumpuan bagaimana dua tubuh muda berdesakan tanpa rencana. Dan malam itu, tanpa banyak kata, Galih membiarkan Bima tetap dalam pelukannya—entah sebagai bentuk kasih sayang, perlindungan, atau kebingungan yang belum bernama.

Mereka tertidur hingga pagi.

-00-

Pukul lima pagi, Galih terbangun seperti biasa. Ia memang sudah terbiasa memulai hari lebih cepat. 

Pelan-pelan, ia melepaskan diri dari dekapan Bima yang masih lelap, lalu meraih handuk dan mengganti pakaian untuk workout ringan.

Saat ia keluar kamar untuk jogging mengitari halaman depan yang luas, udara pagi masih basah oleh embun. 

Beberapa burung mulai bersiul, dan matahari mulai muncul malu-malu di balik atap joglo rumah utama.

Setengah jam kemudian, Galih kembali ke kamar sambil mengelap peluh di lehernya. Bima baru saja terbangun, masih berbaring di sofa dengan mata setengah terbuka, rambut acak-acakan, dan wajah yang belum sadar penuh.

Tapi senyumnya muncul duluan.

Ia menatap langit-langit, lalu menyentuh bagian sofa yang tadi semalaman ia rebuti bersama Galih.

“Gokil,” gumamnya kecil sambil tersenyum sendiri. “Gue peluk Galih semalaman...”

Tangannya meraba bekas tempat Galih tidur.

“Kayak punya guling hidup... enak banget, anjir.”

Ia menutup wajah dengan bantal kecil, berusaha menyembunyikan rona malu di pipi sendiri, padahal tak ada siapa pun yang melihat.

Lalu dengan suara kecil seperti doa pagi yang absurd, ia berbisik:

“Ya Tuhan... andai bisa tiap malam kayak gini…”

Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (8)"