Sopir itu Kini BFku
“Ayah pikir ini lucu?”
Suara Bima menggema di ruang tamu bergaya klasik itu. Dinding kayu ulin yang mengkilap seakan ikut memantulkan amarahnya.
Di luar, angin mengayun pelan bunga-bunga kamboja yang bermekaran di taman depan rumah.
Pak Gunawan menatap putranya, duduk tenang di kursi berlapis beludru, satu tangan menggenggam cangkir teh panas.
“Lucu? Kamu hampir mati dua minggu lalu, Bim.”
“Itu cuma balapan. Aku gak mabuk, gak nabrak orang. Cuma jatuh!” bentak Bima, matanya memerah.
Pak Gunawan meletakkan cangkir perlahan.
“Jatuh dari motor, patah tulang, dan koma dua hari. Itu bukan ‘cuma’, Bima.”
“Jadi sekarang aku harus dikekang kayak anak SD? Ke kampus pun harus diantar sopir?”
“Bukan sopir. Dia juga akan jadi asistenmu. Dan kamu gak ke mana-mana tanpa dia. Titik.”
Bima tertawa sinis.
“Ayah pikir aku bakal nurut gitu aja? Enggak. Aku masih punya otoritas atas hidupku sendiri.”
Pak Gunawan berdiri. Tegas.
“Kalau kamu menolak, aku blokir semua akses keuanganmu. Kartu kredit, ATM, dompet digital, semuanya. Jangan pikir kamu bisa hidup dari sisa tabungan.”
Bima terdiam. Dadanya sesak. Ini bukan sekadar aturan. Ini ancaman nyata. Ia tahu betul, tanpa itu semua, hidupnya lumpuh total.
“Siapa orangnya?” gumam Bima akhirnya, ketus dan enggan.
Pak Gunawan menepuk tangan dua kali. Dari balik pintu, seorang pria masuk dengan langkah mantap.
Kemeja putih rapi, celana gelap pas badan, sepatu mengkilap. Kulitnya sawo matang, tubuh tegap, dan wajahnya... terlalu muda.
“Perkenalkan. Galih,” kata Pak Gunawan.
“Mulai hari ini, kamu jalan sama dia.”
Bima mengernyit.
“Kukira Ayah bakal nyewa pria berumur empat puluhan yang bau minyak angin. Ternyata model catwalk.”
Galih hanya tersenyum sopan, membungkuk sedikit.
“Selamat siang, Mas Bima.”
“Berapa umurmu?”
“Dua puluh lima, Mas.”
Bima mendengus, melipat tangan.
“Cukup muda buat diajak nongkrong, tapi terlalu tua buat jadi teman sebaya. Hebat, Ayah. Hebat sekali.”
Pak Gunawan tak menanggapi. Ia hanya menoleh ke Galih dan memberi anggukan.
“Laksanakan tugasmu.”
-00-
Rumah Bima adalah perpaduan kemewahan dan tradisi. Gaya klasik Jawa terasa dari pendapa lebar yang dikelilingi taman asri dan kolam ikan. Pilar-pilar kayu tua menopang atap joglo yang menjulang, dan aroma kayu ulin menyatu dengan semilir angin yang membawa bau bunga kenanga dan hujan yang baru reda.
Sejak hari itu, Galih selalu ada. Di jok depan mobil hitam mewah saat menjemput Bima kuliah. Berdiri di luar kelas sambil membaca buku kecil. Menunggu di pojok ruangan saat Bima rapat organisasi kampus.
Dan tanpa diminta, mengingatkan jadwal, mengatur agenda, bahkan menyelipkan roti tawar dan vitamin di saku tas Bima.
Bima benci semua itu. Atau setidaknya... ia mencoba untuk tetap membenci.
Sore itu, hujan rintik turun, membasahi halaman depan rumah. Bima melangkah dari gerbang, baru pulang dari kampus. Galih membuka payung, mengiringinya masuk rumah.
“Masih banyak tugas minggu ini?” tanya Galih ringan.
Bima mengangkat alis, menatap sebal.
“Bukan urusanmu.”
Galih mengangguk pelan.
“Baik, Mas.”
Sesampainya di teras, Bima berhenti. Menatap Galih yang menggenggam gagang payung dengan satu tangan, tangan lainnya menyelip di belakang punggung.
Hujan membasahi ujung sepatu dan sedikit celananya, tapi wajahnya tetap tenang.
“Kamu tahu,” kata Bima pelan, “aku sebenarnya benci semua ini.”
Galih menoleh, matanya tenang.
“Saya tahu.”
“Terus kenapa kamu masih betah?”
Galih menatapnya sebentar.
“Karena kadang, yang kamu benci justru yang paling kamu butuh.”
Bima terdiam. Hujan masih turun. Taman di sekeliling rumah berkilau kehijauan, dan aroma tanah basah menguar samar.
Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, amarah di dadanya terasa... tidak terlalu berat.
BERSAMBUNG
Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku"