Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sopir itu Kini BFku (2)


Suatu pagi yang cerah, sinar matahari menembus kisi-kisi jendela kaca bergaya kolonial di kamar Bima. Ia berdiri di depan cermin besar, rambutnya masih agak berantakan, kaus putih melekat di tubuh rampingnya. 

Di belakangnya, terdengar langkah kaki yang khas—rata dan teratur.

Galih masuk, seperti biasa dalam kemeja lengan panjang yang diselipkan rapi ke celana hitam, sepatu kulit mengkilap tanpa noda. 

Tangannya membawa tas selempang berisi dokumen kecil dan botol air minum.

“Jadwal kuliah jam sembilan. Kita berangkat sekarang, Mas?” tanyanya datar.

Bima memutar tubuh. “Galih.”

“Ya?”

“Lu masih muda, cakep. Gak usah kayak manajer bank tiap hari.”

Galih mengernyit. “Maksudnya?”

“Pakai baju casual aja. Kaos, jeans, sneakers. Santai. Gue pengen lu kayak kakak gue, bukan pengawas.”

Galih menatapnya ragu. “Nanti Ayah Mas—”

“Gue yang bilang ke Ayah. Biar gue gak dikira anak papa yang dikuntit sopir ke mana-mana.”

Hening sejenak. Galih menatap Bima, lalu mengangguk pelan. 

“Baik, Mas. Kalau itu bikin Mas Bima lebih nyaman.”

-00-

Dua hari kemudian, Galih muncul di pagi hari dengan tampilan berbeda. Kaos abu-abu polos membentuk siluet tubuhnya yang tegap. 

Jaket denim kusut tergantung di pundaknya, dan sneakers putih yang bersih melengkapi gayanya. 

Rambutnya tak lagi terlalu licin, melainkan disisir sederhana. Wajah oriental itu terlihat jauh lebih santai.

Bima hampir melongo saat melihatnya turun dari mobil di depan gerbang kampus.

“Wah…” Bima menyipitkan mata, senyum kecilnya muncul tak sadar. 

“Lu kayak keluar dari film drama Korea.”

Galih tertawa kecil. “Niatnya biar gak kelihatan kayak pengawas.”

Dan memang berhasil. Beberapa teman kampus Bima bahkan mulai menyapanya dengan heran.

“Temen lo, Bim?” tanya Dika, sahabat sekelasnya.

“Hmm… kakak angkat,” jawab Bima enteng, sambil menepuk bahu Galih. 

“Suka anterin karena dia lagi nganggur.”

Galih hanya nyengir di balik kacamata hitamnya.

Sejak hari itu, suasana berubah. Di mata publik, Bima bukan lagi si anak manja yang diantar sopir. Ia terlihat lebih santai, lebih manusiawi. 

Bahkan Galih sering ikut nongkrong di pojok kafe, membaca buku sambil menunggu Bima. Ia tak pernah ikut campur, tapi kehadirannya membuat Bima diam-diam merasa lebih tenang.

Dan Bima... mulai sulit menghindari perasaan aneh yang muncul. Semacam ketertarikan yang ia sendiri enggan akui.

Bukan cuma karena Galih tampan. Tapi karena di balik sikap kalem dan tubuh kuat itu, ada ketulusan yang tak dibuat-buat.

Malam itu, saat mereka duduk di taman belakang rumah, diterangi lampu taman temaram dan suara jangkrik yang berdendang, Bima melirik Galih yang duduk bersila di kursi kayu.

“Gal,” katanya pelan.

“Hm?”

“Lu pernah jatuh cinta gak?”

Galih menoleh. Wajahnya tak terkejut, tapi juga tak buru-buru menjawab.

“Pernah,” katanya akhirnya. “Kenapa nanya?”

Bima menatap langit. “Gak tahu. Cuma pengen tahu rasanya.”

Galih tersenyum, lalu kembali menatap ke depan.

“Rasanya kayak pengin deket terus. Tapi juga takut terlalu dekat.”

Bima menggigit bibirnya. Matanya menerawang, tapi hatinya... mulai bergerak. Mungkin perlahan. Tapi pasti.

BERSAMBUNG

Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (2)"