Obrolan tentang Sperma
Suatu sore di sebuah warung kopi kecil, Yoga dan Hubi duduk berhadap-hadapan. Gelas kopi masih mengepul, sementara obrolan mereka tiba-tiba bergeser ke topik yang agak… sensitif.
“Yog,” kata Hubi sambil mencondongkan tubuh, suara dibuat pelan, “sebenarnya sperma itu butuh berapa lama sih buat matang? Jangan-jangan kalau aku keluarin tiga hari sekali, spermanya belum siap?”
Yoga tersenyum kecil. “Pertanyaan berat nih, Bi. Tapi gampangnya gini, sperma itu kayak pabrik roti.”
“Pabrik roti?” Hubi mengernyit.
“Iya. Dari adonan sampai roti matang, butuh waktu lama. Nah, sperma dari nol sampai benar-benar matang butuh sekitar 64 sampai 72 hari. Tapi pabriknya nggak berhenti, selalu ada batch baru. Jadi meskipun kamu ambil roti tiap tiga hari, yang keluar tetap roti matang. Sama kayak sperma, yang keluar sudah matang, bukan setengah jadi.”
Hubi mengangguk pelan, mulai paham. “Oke, berarti aman ya tiga hari sekali? Bukan berarti keluarin yang masih mentah?”
“Betul. Justru bagus. Kalau terlalu lama ditahan, misalnya lebih dari sepuluh hari, sperma bisa jadi lemah atau rusak DNA-nya. Makanya ritme dua sampai tiga hari sekali itu sehat. Apalagi kalau lagi program hamil, itu frekuensi paling ideal.”
Hubi menatap kopinya, lalu nyengir. “Tapi kalau kebanyakan, bisa kering nggak? Maksudku… habis gitu?”
Yoga ngakak. “Nggak ada istilah sperma kering, Bi. Tubuh selalu produksi terus. Memang kalau ejakulasi berkali-kali dalam sehari, volumenya bisa berkurang, jadi encer. Tapi dalam sehari atau dua hari, tubuh bakal isi ulang lagi. Jadi tenang, nggak bakal habis.”
Hubi terlihat lega. “Kirain bakal kosong kayak galon air.”
Yoga menepuk bahu temannya. “Nggak gitu. Kalau galon bisa habis, kalau sperma selalu diproduksi. Cuma kalau terlalu sering, misalnya sehari lima kali, ya kualitas bisa turun sebentar. Tapi kalau normal sehari sekali atau tiga hari sekali, itu sehat banget.”
Hening sejenak. Angin sore masuk lewat jendela warung, membuat kertas-kertas nota di meja kasir bergetar. Hubi mendesah lega, lalu berkata, “Gila ya, ternyata tubuh kita punya sistem produksi canggih. Gue pikir cuma pabrik yang bisa produksi massal.”
“Justru tubuh kita jauh lebih hebat,” balas Yoga. “Yang penting dijaga, makan sehat, olahraga, jangan stres. Karena sperma itu juga sensitif sama gaya hidup.”
Hubi tertawa. “Oke, mulai sekarang gue bakal lebih peduli. Tapi tetep, gue nggak nyangka bisa ngobrolin sperma di warung kopi begini.”
Yoga ikut tertawa. “Ilmu bisa datang dari mana aja, Bi. Termasuk dari segelas kopi dan obrolan sore kayak gini.”
Keduanya pun meneguk kopi masing-masing, dengan perasaan ringan. Obrolan yang awalnya terasa tabu, justru berubah jadi pengetahuan berharga tentang tubuh mereka sendiri.
Posting Komentar untuk "Obrolan tentang Sperma"