Mata Air yang Menyimpan Wajah
Pagi itu, Dira menapaki jalan setapak di kaki gunung. Udara dingin menusuk lembut, membawa aroma natural dan suara gemericik yang samar-samar memanggil dari kejauhan.
Ia tahu, suara itu berasal dari mata air—sumber kehidupan yang selama ini hanya ia dengar dari cerita warga desa.
Setibanya di sana, Dira tertegun. Air jernih mengalir dari celah bebatuan, menuruni akar-akar pohon tua, memantulkan sinar matahari seperti serpihan kaca bening.
Ia menunduk, menyentuhkan jemari pada alirannya. Sejuk. Bening. Terasa lebih hidup dibanding air yang selama ini menetes dari keran rumahnya di kota.
“Air ini berbeda,” gumam Dira, menatap bayangannya sendiri yang bergoyang di permukaan.
Warga desa mengatakan, air pegunungan mengandung mineral alami yang menjaga kulit tetap segar. Tanpa kaporit, tanpa campuran kimia yang kerap membuat kulit kering.
Dira ingat betapa wajahnya sering memerah karena air keran di apartemen. Kini, saat air pegunungan menyentuh kulitnya, ada rasa teduh yang tak bisa dijelaskan.
Ia membasuh wajahnya sekali, lalu lagi, dan lagi. Seakan setiap percikan adalah doa yang menyingkirkan lelah. Kulitnya terasa dingin, pori-pori seolah mengecil, dan di balik itu ada bisikan kecil: inilah rahasia kesegaran yang diwariskan alam.
Dira duduk di tepi aliran, menatap riak yang terus bergerak. Ia sadar, bukan hanya air yang menyentuh kulitnya, tapi juga ketenangan yang meresap jauh ke dalam hati. Ia merasa dipeluk oleh alam—oleh kesederhanaan yang selama ini hilang di antara hiruk pikuk kota.
Sebelum pulang, ia meneguk air itu. Rasanya murni, menyejukkan kerongkongan, meninggalkan sensasi segar hingga ke dada. Dira tersenyum, merasa seakan menemukan kembali wajahnya sendiri, yang selama ini tersembunyi di balik debu, polusi, dan rutinitas.
Sejak hari itu, setiap kali ia bercermin, Dira selalu teringat mata air di kaki gunung—air bening yang bukan hanya membersihkan kulit, tapi juga menyimpan wajah sejati yang lama terlupakan.
Posting Komentar untuk "Mata Air yang Menyimpan Wajah"