Role Side
Kopi hitam di meja hampir dingin ketika Yoga menatapku sambil tersenyum penuh rahasia.
“Hubi, lo pernah denger istilah side?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyit. “Side? Maksudnya samping? Apa ini istilah baru lagi di dunia pergaulan?”
Yoga tergelak. “Bukan sembarang istilah. Jadi gini, selain top, vers, sama bottom, ada juga yang namanya side. Dan menurut gue, orang sering salah paham soal ini.”
Aku menyandarkan badan, menunggu penjelasan. Yoga memang selalu jadi orang yang up to date urusan beginian.
“Side itu,” lanjutnya, “bukan berarti orangnya pasif banget atau menghindar. Mereka lebih suka relasi yang didasarin ngobrol, bercanda, atau sekadar bareng-bareng ngopi kayak gini. Intinya, hubungan mereka tuh kuat di komunikasi.”
Aku menyesap kopi. “Oh, jadi kayak lo sama gue sekarang, ngobrol ngalor-ngidul?”
Yoga mengangguk. “Persis. Buat side, hal kayak gitu lebih penting daripada mikirin urusan ranjang doang.”
Aku tersenyum kecut. Selama ini aku sering merasa aneh karena nggak selalu antusias dengan yang namanya seks. Tapi mendengar penjelasan Yoga, rasanya ada yang nyambung.
“Dan ada lagi,” Yoga menambahkan, kali ini nada suaranya lebih serius. “Banyak side itu lebih aware sama hak kesehatan seksual dan reproduksi. Mereka ngerti batasan, ngerti pentingnya jaga tubuh, dan terbiasa ngobrol terbuka soal kenyamanan. Kayak bikin kontrak sosial kecil-kecilan dengan pasangan.”
Aku mendengarkan dengan saksama. Jujur saja, aku sering canggung ketika pasangan mulai ngajak diskusi soal kesehatan. Tapi mungkin, justru itu yang bikin relasi sehat.
Yoga lalu merapatkan jaketnya, udara malam makin menusuk. “Satu hal yang keren dari side, mereka biasanya lebih peduli sama IMS. Bukan karena parno, tapi karena mereka tahu risiko. Jadi mereka rutin cek kesehatan, lebih hati-hati, dan paham gimana cara mengurangi kemungkinan tertular.”
Aku tertawa pelan. “Kedengerannya side itu kayak tipe pasangan ideal deh. Nggak cuma mikirin senengnya sendiri.”
Yoga tersenyum samar. “Betul. Lagipula, mereka nggak melakukan anal sex. Buat side, keintiman bisa hadir lewat cara lain. Bisa lewat pelukan, ciuman, atau sekadar rebahan bareng sambil cerita panjang. Jadi, buat mereka, relasi itu nggak melulu harus penetrasi.”
Aku terdiam cukup lama. Bagian itu bikin aku makin relate. Selama ini aku sering merasa kurang ‘normal’ karena menolak anal sex, padahal aku lebih nyaman dengan bentuk kedekatan sederhana. Mendengar istilah side membuatku merasa punya nama, punya identitas.
“Dan terakhir,” kata Yoga sambil menepuk pundakku, “side biasanya lebih nyari hubungan jangka panjang. Mereka nggak gampang puas dengan sesuatu yang instan. Kalau udah sayang, ya sayang beneran. Bukan main-main.”
Aku menatapnya, setengah kagum, setengah heran. “Lo ngomong gini karena lo sendiri seorang side, kan?”
Yoga tersenyum lebar. “Mungkin. Gue ngerasa jadi side itu lebih sesuai sama cara gue memandang hubungan. Gue suka ngobrol panjang, suka bangun kenyamanan, dan nggak buru-buru pengen yang aneh-aneh. Gue lebih milih punya pasangan yang bisa temenan dulu sebelum apa pun.”
Aku menunduk, menimbang-nimbang. Kata-kata Yoga seolah mengetuk pintu di kepalaku yang selama ini tertutup rapat. Mungkin aku juga side, hanya saja nggak pernah berani mengakuinya, bahkan pada diri sendiri.
“Kedengerannya… indah ya,” gumamku. “Relasi yang nggak sekadar fisik, tapi juga hati dan pikiran.”
Yoga mengangkat cangkir kopinya. “Exactly. Jadi side itu bukan berarti kurang, tapi justru punya perspektif lain tentang keintiman. Dan lo nggak perlu jadi top, vers, atau bottom kalau itu nggak bikin lo nyaman.”
Aku ikut mengangkat cangkirku, menimpali dengan senyum. Untuk pertama kalinya, aku merasa lega. Seolah beban panjang tentang identitas dan pilihan akhirnya punya jawaban sederhana: aku mungkin seorang side.
Malam itu, kopi kami sudah dingin. Tapi obrolan hangat Yoga justru membuat dadaku terasa lebih hangat dari apa pun.
Posting Komentar untuk "Role Side"