Saatnya Berhenti Jadi Boti
Aku menatap cermin pagi itu. Perutku semakin buncit, celana yang dulu longgar kini terasa sesak.
Aku menarik napas panjang, mencoba menertawakan diri sendiri, tapi senyumku hambar.
Berat badan yang naik ini seolah jadi pengingat: ada sesuatu yang salah dalam hidupku.
Bukan hanya soal bentuk tubuh. Setiap kali buang air besar, rasa perih menyergap, membuatku berkeringat dingin.
Aku mulai takut masuk kamar mandi. Rasa sakit itu datang seperti tamparan, seakan tubuhku menjerit, “Berhenti. Cukup.”
Suatu hari, aku menemukan benjolan kecil di area anus. Jantungku berdegup kencang. Aku terdiam lama, menatap lantai, tak tahu harus bagaimana.
Ada rasa malu, takut, sekaligus penyesalan. Benjolan itu bukan sekadar masalah fisik, tapi tanda bahwa tubuhku sudah lelah menghadapi semua yang kupaksa selama ini.
Yang paling sulit sebenarnya bukan luka di tubuh, tapi hampa di hati.
Malam-malam panjang kulalui dengan rasa lelah yang tak pernah usai.
Tubuhku letih, tapi pikiranku lebih letih lagi. Aku kesepian, meski dikelilingi banyak orang.
Dalam keheningan, aku sadar: aku sedang kehilangan diriku sendiri.
Hari itu, aku membuat janji kecil pada diri. Aku tak bisa terus begini. Aku ingin berhenti. Aku ingin hidup lebih sehat.
Aku mulai berjalan pagi meski hanya lima belas menit. Aku mengganti minuman manis dengan air putih.
Aku belajar memasak sederhana: sayur bening, telur rebus, buah segar. Aku juga mulai berani menolak ajakan yang hanya membuatku kembali pada lingkaran lama.
Perlahan, tubuhku terasa lebih ringan. Luka memang tak langsung sembuh, tapi aku merasakan tenaga baru, semacam semangat yang lama terkubur.
Yang lebih penting, aku belajar berdamai dengan kesepian, lalu mengisinya dengan hal-hal baik.
Cermin yang dulu membuatku muram kini terasa lebih ramah. Aku menatap bayangan itu dengan keyakinan baru: inilah awal hidup sehatku.
Dan aku tahu, aku tidak akan kembali ke masa lalu yang hanya membuatku hancur.
Posting Komentar untuk "Saatnya Berhenti Jadi Boti"