Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sardi, Si Kuli Atletis


Pagi itu matahari baru saja naik, tapi tubuh Sardi sudah basah oleh keringat. 

Di bahunya, dua sak semen menempel erat, sementara langkahnya mantap menapaki papan kayu di atas parit. 

Lengan cokelat gelap itu berkilau terkena sinar, urat-urat menonjol seakan jadi peta kekuatan.

“Mas, kok kuat banget, nggak capek?” tanya Dani, mahasiswa arsitektur yang magang di proyek itu. 

Ia heran melihat tubuh Sardi yang berotot tanpa pernah mengenal gym.

Sardi tertawa, giginya putih kontras dengan wajah legam.

“Capek, Mas. Tapi besok masih bisa kerja lagi. Badan udah biasa.”

Setiap hari, pekerjaan Sardi tak jauh dari angkat semen, dorong gerobak pasir, atau merangkak di bawah rangka baja. 

Tanpa sadar, rutinitas itu seperti latihan resistance training di gym, hanya bedanya tak ada musik keras atau cermin besar. 

Tubuhnya dibentuk oleh beban nyata—bukan barbel, melainkan sak semen dan batu bata.

Siang hari, saat istirahat, makanannya sederhana: nasi hangat, tempe goreng, sedikit sambal. Dani memandang heran. 

“Nggak pakai ayam, nggak pakai daging?” tanyanya.

Sardi mengunyah sambil tersenyum.
“Yang penting kenyang. Badan ini bisa jalan pakai apa aja. Nasi, tempe, singkong, asal banyak kerja, badan tetap kuat.”

Dani tercenung. Dosen psikologinya pernah bilang, tubuh manusia itu adaptif. 

Otot butuh protein, benar, tapi kalau kerja fisik konsisten, tubuh jadi efisien memanfaatkan energi apa saja. 

Bahkan pikiran sederhana seperti Sardi yang fokus hanya pada kerja, tanpa stres macam laporan atau target perusahaan, justru membuat tubuhnya lebih tahan banting.

“Mas, jangan heran. Bapak saya dulu juga kuli. Kerja panas, makan seadanya, tapi kuat. Kami nggak banyak mikir macam-macam, hidup ya kerja. Mungkin itu bikin badan nggak gampang sakit,” ujar Sardi lagi, sambil menyalakan rokok kretek.

Dani diam, memperhatikan. Kuli-kuli seperti Sardi tidak hanya kuat karena ototnya, tapi juga karena pikirannya yang ringan. 

Tidak terjerat deadline, tidak overthinking. Mereka terbentuk oleh kerasnya lingkungan—debu, panas, dan kerja berat. 

Tubuh mereka beradaptasi, jadi resisten, seperti baja yang ditempa panas.

Sore menjelang, Sardi kembali mengangkat semen. Punggungnya tegak, langkahnya mantap. 

Dani menatapnya kagum. Ia mulai sadar, ada pelajaran besar di balik tubuh sederhana itu: manusia bisa jadi kuat bukan karena gym mewah atau suplemen mahal, tapi karena konsistensi, adaptasi, dan pikiran yang tidak terlalu ribet.

Di benak Dani terlintas satu kalimat: “Kuli adalah laboratorium hidup, tempat ilmu biologi dan psikologi bertemu.”

Posting Komentar untuk "Sardi, Si Kuli Atletis"