Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku Ingin Tidur Nyanyak


Malam itu, Rafi kembali menatap langit-langit kamarnya yang gelap dengan mata terbuka lebar. 

Sudah hampir dua jam sejak ia berbaring, tapi rasa kantuk tak juga datang. 

Pikiran berlarian ke sana kemari—tentang pekerjaan, tentang pesan yang belum dibalas, tentang hidup yang makin melelahkan.

Rafi menghela napas panjang. 

“Kenapa akhir-akhir ini susah banget tidur, ya?” gumamnya pelan.

Ia menatap ponsel di meja samping. Godaan untuk membuka media sosial begitu kuat. Sekali saja melihat, pikirnya. 

Tapi lalu ia teringat saran dari sahabatnya, Lila: “Kalau mau tidur nyenyak, jangan lihat layar ponsel sebelum tidur. Cahaya birunya bisa bikin otak tetap aktif, lho.”

Rafi akhirnya menahan diri. Ia matikan notifikasi dan menaruh ponsel jauh dari jangkauan. 

Kamar kini hening, hanya terdengar suara kipas angin berputar pelan.

Sore tadi sebenarnya ia sudah mencoba mengikuti tips lain dari Lila—berolahraga ringan. Ia jogging keliling kompleks, berharap tubuhnya lelah dan bisa cepat terlelap. 

Badannya memang terasa segar, tapi pikirannya tetap saja sibuk. Mungkin memang butuh lebih dari sekadar keringat untuk bisa tidur dengan tenang.

Rafi memandangi lampu kamar yang masih menyala redup. 

“Ah, mungkin ini juga salah satu penyebabnya,” ujarnya lirih sambil menekan saklar. 

Seketika ruangan menjadi gelap. Anehnya, suasana gelap itu malah terasa menenangkan. 

Matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, dan tubuhnya terasa sedikit lebih rileks.

Namun, udara kamar terasa agak pengap. Ia bangkit perlahan, membuka jendela, dan membiarkan angin malam masuk. 

Hembusan sejuk itu membuat tirainya menari pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan dari luar. 

Udara segar itu menyapu rasa sumpek yang sejak tadi menempel di dada.

“Lumayan,” bisiknya, kembali merebahkan diri.

Beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. 

Rafi menatap langit-langit sekali lagi, lalu menutup mata. Ia teringat kebiasaan lama yang dulu sering ia lakukan bersama ibunya ketika masih kecil—berdoa sebelum tidur.

Dengan perlahan, ia mengatupkan tangan, menundukkan kepala, dan berdoa dalam hati. 

Bukan doa panjang, hanya ucapan syukur atas hari yang telah ia lalui, serta permohonan agar malam ini diberi tidur yang tenang.

Aneh, tapi setelah itu dadanya terasa lebih ringan. Seolah beban yang tadi menekan pikirannya mulai luruh satu per satu. 

Ketenangan mengalir lembut, menuntun tubuhnya tenggelam ke dalam keheningan malam.

Beberapa menit kemudian, napasnya mulai teratur. Ia tidak lagi mendengar suara kipas, tidak lagi memikirkan notifikasi yang tertunda, tidak lagi memaksakan diri untuk tidur. 

Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam rasa damai yang sederhana.

Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Rafi akhirnya benar-benar tertidur nyenyak—dalam kamar yang gelap, sejuk, dan penuh ketenangan.

Pagi harinya, sinar matahari menembus tirai. Rafi membuka mata dengan senyum kecil. 

“Ternyata cuma butuh sedikit usaha dan doa,” katanya sambil meregangkan tubuh.

Hari itu ia berangkat kerja dengan langkah ringan, membawa kesadaran baru: bahwa tidur yang nyenyak bukan soal waktu, tapi soal bagaimana kita mempersiapkan diri untuk benar-benar beristirahat.

Posting Komentar untuk "Aku Ingin Tidur Nyanyak"