Jangan Cukur Ketiakmu
Rey dan Aldo baru saja menyelesaikan latihan basket sore itu. Lapangan kampus penuh teriakan, keringat, dan suara sepatu yang berdecit.
Begitu duduk di pinggir lapangan, Rey langsung mengipas-ngipas bajunya.
“Bro, jujur aja, gue tuh sebel banget sama bulu ketiak. Rasanya kotor. Pengen gue cukur habis,” keluh Rey sambil menatap Aldo yang santai meneguk air mineral.
Aldo tertawa kecil. “Lo tahu nggak, bulu ketiak itu justru penyelamat lo.”
Rey mengernyit. “Penyelamat apaan? Itu kan cuma bikin bau makin parah.”
Aldo lalu mengangkat tangannya, menunjuk ketiaknya sendiri. “Dengar ya, bro. Waktu lo lari-lari, tangan lo gesek terus sama badan. Kalau nggak ada bulu ketiak, kulit lo bisa iritasi. Bulu itu kayak bantalan alami, biar nggak lecet.”
Rey terdiam. “Serius?”
“Serius. Lagi pula, kelenjar apokrin di ketiak itu menghasilkan keringat khusus. Nah, bulu bikin keringat nggak langsung netes, malah bantu nguapin. Itu bikin suhu badan lebih stabil. Makanya atlet kayak kita bisa tahan main lama.”
Rey mulai terlihat penasaran. “Tapi baunya, Do?”
“Ya jelas kalau lo males mandi, bau lah! Bulu ketiak itu bukan penyebab utama, tapi bakteri yang makan keringat lo. Makanya, rawat kebersihan. Kalau dirawat, justru bulu itu bikin kulit lebih sehat karena ada mikrobiota baik yang hidup di situ.”
Rey tersenyum kecut. “Jadi, bulu ketiak itu kayak penjaga tak kasat mata?”
Aldo mengangguk mantap.
“Persis. Bahkan katanya juga ngaruh ke feromon, zat kimia tubuh yang bikin kita bisa lebih ‘menarik’ di level biologis. Lo nggak nyadar, banyak hal kecil di tubuh yang nyatanya penting banget.”
Rey akhirnya tertawa lepas. “Gila, Do, gue kira lo cuma jago di lapangan. Ternyata lo juga dosen biologi terselubung.”
Aldo ikut tertawa. “Bukan dosen, bro. Cuma cowok yang tahu cara menghargai bulu ketiaknya sendiri.”
Sore itu, Rey pulang dengan pikiran berbeda. Ia tak lagi melihat bulu ketiak sebagai musuh, tapi sebagai bagian tubuh yang punya peran, terutama bagi seorang atlet.
Posting Komentar untuk "Jangan Cukur Ketiakmu"