Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Open Kos


Rey baru dua minggu tinggal di kos barunya. Sejak meninggalkan rumah, ada perasaan campur aduk yang ia rasakan: senang karena akhirnya bisa merasakan kebebasan, tapi juga takut karena tidak ada lagi orang tua yang mengingatkan setiap malam. Kamar 3x4 meter itu kini menjadi dunianya.

Awalnya Rey mengira hidup sebagai anak kos akan terasa ringan. Pulang kuliah bisa langsung rebahan, main ponsel sampai larut, lalu tidur sesuka hati. 

Namun, cepat sekali ia menyadari bahwa kebebasan juga membawa godaan. 

Seringkali ia tergoda untuk mencoba hal-hal yang sebelumnya tabu, mulai dari ikut nongkrong sampai tengah malam, sampai keinginan mengunduh aplikasi kencan hanya karena merasa kesepian.

Untungnya, Rey punya teman baik bernama Aldo, kakak tingkat yang juga tinggal di kos yang sama. Aldo sering mengingatkan dengan gaya bercanda, 

“Bebas itu enak, Rey. Tapi kalau kebablasan, bisa-bisa kamu malah dikendalikan sama kebebasanmu sendiri.” Kalimat itu menempel di kepala Rey.

Satu malam, saat sedang rebahan sendirian, Rey sempat tergoda mengunduh aplikasi kencan. 

Tangannya sudah hampir menekan tombol install, tapi tiba-tiba ia teringat ucapan Aldo. 

Kayaknya enak ya nyari satu temen buat melampiaskan hasratnya, kalau pas di rumah kan pasti sulit karena ada ortu.

Di kos kan bisa bebas, lagian dia juga lagi pengen banget nih. Rey gelisah, antara ingin menahan atau melampiaskannya.

Ia memutuskan keluar kamar, sekadar menghirup udara di teras. Dari kejauhan terdengar suara gitar dari kamar sebelah. Rupanya beberapa penghuni kos sedang berkumpul, bernyanyi sambil diskusi ringan. 

Rey ikut nimbrung. Malam itu ia sadar, ada cara lebih sehat untuk mengusir kesepian: berinteraksi nyata dengan orang di sekitarnya.

Seiring waktu, Rey mulai lebih bijak memilih lingkungannya. Ia sengaja mendekat ke penghuni kos yang rajin kuliah dan hobi berdiskusi, bukan yang tiap malam pulang dalam keadaan mabuk. Atmosfer itu menular. Rey jadi merasa harus ikut menjaga diri.

Selain itu, Rey juga menemukan cara terbaik mengendalikan hasrat: menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Ia bergabung dengan organisasi mahasiswa, ikut kelas olahraga, bahkan kadang bekerja part-time di kantin fakultas. Kesibukan itu membuatnya pulang ke kos dengan tubuh lelah tapi hati tenang. Tidak ada lagi waktu luang yang bisa dipakai untuk melamun atau mencari pelampiasan yang tidak sehat.

Aldo tersenyum melihat perubahan Rey. “Lihat? Hidup di kos itu seperti memegang setir mobil. Kalau nggak hati-hati, kamu bisa nabrak. Tapi kalau terkontrol, kamu bisa sampai ke mana saja.”

Rey mengangguk. Ia mulai mengerti bahwa mengontrol hasrat bukan berarti menekan diri habis-habisan, melainkan menyalurkannya ke arah yang lebih berguna. Energi yang biasanya habis untuk scroll ponsel sampai pagi, kini ia pakai untuk olahraga atau membaca buku.

Malam itu, sebelum tidur, Rey menatap langit-langit kamarnya. Ia tersenyum kecil. Hidup sebagai anak kos memang penuh kebebasan, tapi justru di situlah ia belajar menjadi dewasa. Ia sadar, kontrol diri adalah bekal penting, bukan hanya untuk bertahan di perantauan, tapi juga untuk masa depan yang lebih panjang.

Kamar kecil itu mungkin sederhana, tapi di sanalah Rey belajar: kebebasan tanpa kendali hanya akan berakhir pada penyesalan. Sedangkan kebebasan yang terarah, bisa menjadi pijakan menuju kehidupan yang lebih matang.

Posting Komentar untuk "Open Kos"