Montir Atletis
Motorku mogok di tikungan dekat warung kelontong. Suaranya mati seperti habis napas.
Aku sempat memutar kunci beberapa kali, tapi yang keluar cuma dengus kecil, seperti keluhan. Akhirnya kutuntun saja ke bengkel di ujung jalan.
Bengkel itu sederhana, dengan papan nama berkarat dan dinding yang separuhnya sudah pudar.
Di dalamnya ada seorang lelaki sedang mengelap tangan dengan kain kotor. Aku perhatikan bahunya bidang, lengannya keras.
Sepertinya dia lebih sering mengangkat barbel daripada obeng.
“Mesinnya mati total?” katanya sambil mendekat.
“Mungkin,” jawabku. “Aku cuma bisa berdoa dan menuntun.”
Dia tertawa kecil, lalu jongkok memeriksa motorku. Gerakannya tenang, seperti sudah hafal setiap kemungkinan kerusakan.
Di sela kesibukannya, dia bertanya, “Sering lewat sini?”
“Kadang-kadang. Kalau gak mogok.”
Dia kembali tertawa. Ada sesuatu di caranya menatap mesin—semacam kasih sayang. Tangannya berlumur oli, tapi raut wajahnya bersih.
“Ayah saya dulu buka bengkel ini,” katanya tiba-tiba. “Waktu kecil, saya sering duduk di sini, ngeliatin beliau bongkar motor. Katanya, mesin itu punya kepribadian. Kalau dia mogok, berarti dia lagi marah.”
“Sekarang ayahnya di mana?” tanyaku.
“Sudah meninggal setahun lalu,” jawabnya. “Makanya saya terusin bengkel ini. Biar gak tutup.”
Aku mengangguk. Di antara bunyi alat dan bau bensin, ada rasa sepi yang aneh. Dia bekerja dengan hati-hati, seperti sedang berbicara dengan kenangan.
“Dulu saya kerja di gym,” katanya lagi. “Ngajar fitness. Tapi tiap pulang, saya lewat bengkel ini, lihat lampunya mati, papan nama berdebu. Rasanya kayak liat ayah saya pelan-pelan menghilang.”
Dia menatapku, lalu menyalakan motor. Suara mesin hidup dengan lembut, seperti baru bangun tidur.
“Sudah,” katanya. “Cuma kabel businya longgar. Kadang hal kecil bisa bikin semuanya berhenti.”
Aku mengeluarkan uang, tapi dia menolak. “Bayar lain kali aja. Kalau mogok lagi.”
Aku tersenyum. “Kamu yakin aku bakal mogok lagi?”
“Motor selalu punya alasan untuk kembali ke tempat yang dia percayai,” ujarnya santai.
Aku menatap bengkel itu sebelum pergi. Sore mulai turun, sinarnya jatuh di wajahnya yang tenang. Dalam cahaya itu, aku merasa bengkel tua itu bukan sekadar tempat perbaikan mesin, tapi tempat seseorang berdamai dengan masa lalu.
Saat motor melaju lagi, aku sempat menoleh. Dia masih berdiri di depan bengkel, melambai pelan. Mungkin dia menunggu mesin-mesin lain yang patah semangat, atau kenangan-kenangan yang datang untuk diperbaiki.


Posting Komentar untuk "Montir Atletis"