Kak Rio
Waktu akan ujian masuk kampus, Ayah bilang aku sebaiknya tinggal di kos Kak Rio saja.
“Biar hemat,” katanya. “Lagi pula, Kak Rio anaknya bibi. Aman.”
Aku menurut saja. Aku tahu maksud Ayah bukan sekadar hemat. Mereka cuma tidak mau aku hidup sendirian di kota besar.
Kos Kak Rio ternyata lebih luas dari yang kubayangkan. Ada ranjang tambahan di pojok, kamar mandi dalam, dan aroma sabun lelaki yang tertinggal di udara.
Kak Rio muncul dari balik pintu dengan tubuh setengah telanjang. Dia baru selesai mandi. Rambutnya basah, dada dan bahunya berotot.
Aku terdiam beberapa detik sebelum mengingat bagaimana caranya menyapa seseorang.
“Eh, Kak Rio…”
“Lama nggak ketemu, ya,” katanya sambil tertawa.
Sudah hampir lima tahun sejak terakhir aku melihatnya.
Waktu itu dia masih kurus, rambutnya gondrong, suka main gitar di teras rumah bibi.
Sekarang dia berubah. Lebih dewasa, lebih tenang, dan terlalu tampan untuk seseorang yang kutahu pernah meniru PR-ku waktu kecil.
Hari-hari pertama aku di sana terasa kikuk. Kami makan bareng, pergi ngegym bareng, nongkrong dengan teman-temannya yang juga berotot dan banyak tertawa.
Aku tidak terlalu paham dunia mereka, tapi aku menikmatinya.
Kadang malam-malam aku terbangun karena mendengar suara barbel.
Kak Rio masih berlatih. Tubuhnya bekerja dalam diam, seperti ada sesuatu yang ingin dikejar tapi tidak pernah ia ceritakan.
Suatu sore, dia memintaku ikut latihan ringan.
“Nggak usah malu. Badan lo juga bisa bagus kalau rajin,” katanya sambil menepuk pundakku.
Tangannya besar dan hangat. Aku tertawa gugup.
“Boleh, Kak. Tapi jangan ketawain kalau aku ngos-ngosan.”
Dia tersenyum, “Nggak akan.”
Sejak itu, aku sering meniru gerakannya diam-diam. Di depan cermin kecil kamar, aku melatih push-up dengan headset menempel di telinga, mencoba membayangkan jadi seperti dia—kuat, yakin, dan tidak ragu pada dirinya sendiri.
Kadang, kalau kami makan bareng, aku suka memperhatikan caranya mengunyah atau tertawa kecil.
Lalu aku buru-buru menunduk, pura-pura fokus pada piring.
Mungkin aku memang mulai menyukainya. Entah karena perhatian kecilnya, atau karena cara dia membuatku ingin jadi versi yang lebih baik dari diriku sendiri.
Suatu malam sebelum tidur, aku berpikir, seandainya aku diterima kuliah nanti, mungkin aku tetap akan kos di sini saja.
Kak Rio menyibak selimutnya, lalu berkata,
“Tidur cepat. Besok kita jogging pagi.”
Aku menjawab pelan, “Iya, Kak.”
Setelah suaranya menghilang, aku menatap langit-langit lama sekali. Lalu tertawa kecil pada diriku sendiri, tanpa tahu apa yang lucu.


Posting Komentar untuk "Kak Rio"