Punyaku Bengkok
Raka duduk di tepi ranjang kosnya, menatap layar ponsel yang penuh artikel kesehatan. Ia baru saja selesai mandi, dan lagi-lagi matanya tertuju pada satu hal yang sejak lama membuatnya resah: bentuk penisnya yang agak bengkok.
"Normal nggak sih kalau kayak gini?" gumamnya. Ia ingat obrolan teman-teman kampus yang suka bercanda soal ukuran dan bentuk, seolah ada standar baku. Padahal, setiap kali ia bercermin, rasa cemas itu muncul.
Malam itu, rasa penasarannya tak terbendung. Ia nekat mengirim pesan ke dokter urologi melalui aplikasi kesehatan. Singkat saja ia menulis: “Dok, penis saya agak bengkok. Apa ini masih sehat?”
Tak lama, jawaban datang. Dokter itu menulis dengan tenang.
“Bengkok sedikit itu wajar, Mas. Penis terbentuk dari dua jaringan utama, corpora cavernosa dan corpus spongiosum. Kadang elastisitasnya tidak simetris, jadi melengkung. Selama tidak nyeri saat ereksi dan tidak mengganggu hubungan seksual, artinya sehat.”
Raka tertegun. Ia membaca ulang kalimat itu beberapa kali, mencoba mencerna. Dokter itu menambahkan, “Kalau bengkok parah sampai sakit atau sulit berhubungan, baru kita curiga penyakit Peyronie’s. Tapi kalau hanya sedikit, itu normal.”
Raka tersenyum kecil. Baru kali ini ia merasa ada penjelasan yang menenangkan. Ia kembali merenung, teringat bagaimana banyak laki-laki termasuk dirinya sering terjebak pada persepsi “penis ideal”. Lurus sempurna, panjang tertentu, padahal dokter tadi jelas menegaskan: ideal itu bukan soal bentuk, tapi soal fungsi.
Pikirannya melayang pada sebuah momen. Dulu, saat ia masih SMA, ia sering dibanding-bandingkan dengan citra lelaki macho di film atau iklan.
Di sana, tubuh gagah dan “alat vital sempurna” digambarkan sebagai puncak maskulinitas. Tapi kini, ia belajar bahwa tubuh manusia jauh lebih kompleks. Setiap orang membawa variasinya masing-masing.
Keesokan harinya, Raka sempat cerita pada Aldo, teman akrabnya di kampus. Dengan setengah malu ia berkata, “Do, ternyata penis gue agak bengkok.”
Aldo hanya tertawa, bukan mengejek, melainkan menepuk bahunya. “Rak, lu kira punya gue lurus kayak penggaris? Semua orang beda. Yang penting sehat. Lu kebanyakan mikirin standar yang nggak ada.”
Raka ikut tertawa. Rasanya beban yang selama ini ia pikul, perlahan hilang. Ia mulai mengerti bahwa kesehatan bukanlah soal cocok dengan gambar di majalah atau film. Penisnya, dengan lengkung kecil itu, tetaplah normal.
Malam berikutnya, ia menutup laptop setelah selesai mengerjakan tugas kuliah. Kali ini ia tidak lagi sibuk mencari artikel soal bentuk tubuhnya.
Ia justru membuka laman tentang pola makan sehat dan olahraga. Ia sadar, yang perlu ia jaga bukan bagaimana tubuhnya dibandingkan orang lain, melainkan bagaimana tubuhnya bisa berfungsi sebaik mungkin.
Di depan cermin, ia tersenyum pada dirinya sendiri. “Lengkung kecil ini normal. Dan gue juga normal.”
Posting Komentar untuk "Punyaku Bengkok"