Pvt1ng Rozi
Malam di kamar kos itu hanya diterangi lampu belajar kecil yang temaram. Ajil duduk di kasur, kausnya setengah terangkat, sambil bercermin di layar ponsel. Rozi, teman sekamarnya, menatap aneh dari meja belajar.
“Bro, lo ngapain liatin puting sendiri?” tanya Rozi, nada setengah jijik, setengah penasaran.
Ajil nyengir. “Gue baru baca artikel. Katanya puting cowok itu punya fungsi penting. Gak cuma asesoris.”
Rozi mendengus. “Fungsi penting apaan? Kan lo gak bisa nyusuin siapa-siapa.”
Ajil tertawa pendek, lalu berkata pelan, “Bukan soal nyusuin. Ini serius. Di bawah kulit puting tuh, sarafnya banyak banget. Katanya titik pertemuan saraf. Itu kenapa sensitif kalau kena dingin atau disentuh.”
Rozi berbalik, mencoba pura-pura nggak tertarik, tapi matanya tetap melirik. “Saraf? Maksud lo, kaya tombol?”
Ajil mengangguk, masih menatap bayangannya. “Tombol alami, katanya. Saat tubuh kedinginan, otot kecil di sekitar puting otomatis nyempit. Itu tanda sistem saraf lagi kerja jaga suhu tubuh. Alarm biologis, bro.”
Rozi menahan tawa. “Jadi lo serius nih? Puting bisa tahu kapan lo kedinginan?”
“Beneran. Gue baca di jurnal, bahkan responnya dikontrol sama sistem saraf otonom. Tubuh kita tuh keren banget.”
Rozi kini benar-benar berbalik menghadap Ajil, wajahnya separuh antara geli dan kagum. “Lo tuh aneh, Jil. Tengah malam mikirin puting.”
Ajil tersenyum santai. “Lo aja yang gak pernah mikir. Padahal itu bagian tubuh lo sendiri. Lucunya, saat dirangsang, area otak yang aktif sama kayak pas kelamin distimulasi. Ada kaitannya sama dopamin, hormon kesenangan.”
Rozi menelan ludah, suasana mendadak berubah agak serius. “Jadi… kalau pasangan lo nyentuh bagian itu—”
“—bisa bikin makin terangsang,” potong Ajil cepat. “Otak tuh gak bisa bedain asal rangsangan kalau sarafnya nyambung ke area yang sama.”
Rozi terdiam, lalu ngakak. “Wah, jadi tombol start-nya cowok tuh bukan cuma di bawah sabuk, ya.”
Ajil ikut tertawa. “Yup, manusia diciptakan kompleks. Bahkan hal kecil yang kita anggap gak penting bisa punya fungsi besar.”
Setelah tawa mereda, keduanya diam sebentar. Hening, tapi bukan canggung. Suara kipas berputar lembut, udara dingin menusuk pelan. Rozi merinding, lalu spontan menatap dadanya sendiri.
“Jil,” katanya pelan, “kayaknya alarm suhu tubuh gue nyala nih.”
Ajil meledak tertawa. “Berarti teori gue terbukti! Tubuh lo responsif.”
Mereka tertawa lagi, keras, sampai penjaga kos mengetuk pintu dan menyuruh mereka diam. Saat lampu dimatikan, Rozi masih senyum kecil di tempat tidurnya.
Dalam gelap, ia berpikir: ternyata tubuh pria menyimpan banyak hal yang tak pernah ia pahami. Bahkan sesuatu sekecil puting bisa jadi pintu menuju rahasia besar tentang dirinya sendiri.
Dan malam itu, dua anak kos tertidur dengan pengetahuan baru—aneh, tapi entah kenapa, terasa penting.
Posting Komentar untuk "Pvt1ng Rozi"