Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tongkolku Super Mungil, Dok


Dani duduk di ruang tunggu klinik andrologi, jari-jarinya gelisah mengetuk lutut. 

Sejak menikah enam bulan lalu, satu kekhawatiran menempel di kepalanya seperti bayangan: apakah aku bisa membahagiakan istriku?

Ia bukan tak percaya diri karena tubuhnya. Tapi setiap kali menatap cermin kamar mandi, rasa takut itu menonjol lebih jelas daripada pantulan wajahnya. 

Penisnya kecil, jauh di bawah ukuran yang dianggap “normal”. Ia tak pernah berani membicarakannya dengan siapa pun — sampai istrinya, Rina, memegang tangannya suatu malam dan berkata lembut, “Kita cari tahu saja, ya?”

Hari itu, Dani akhirnya duduk di depan seorang dokter androlog bernama dr. Haris, lelaki paruh baya dengan suara tenang dan mata yang jernih seperti tidak mengenal kata “menghakimi.”

“Jadi, Dani,” dokter memulai, “kamu khawatir soal ukuran penismu, ya?”

Dani mengangguk pelan. 

“Saya takut… kalau nanti istri saya gak bisa hamil. Saya dengar orang dengan kondisi seperti saya susah punya anak.” Suaranya lirih, nyaris tenggelam.

Dokter Haris mencondongkan tubuh. 

“Pertama-tama, kamu perlu tahu bahwa ukuran penis tidak menentukan kesuburan. Yang penting adalah fungsi ereksi, ejakulasi, dan kualitas sperma.”

Dani terdiam. 

“Jadi… meski kecil, saya masih bisa menghamili istri saya?”

“Tentu bisa,” jawab dokter itu mantap. 

“Micropenis adalah kondisi medis, biasanya karena gangguan hormon testosteron sejak janin. Tapi selama testismu berfungsi dan sperma sehat, kamu tetap bisa punya keturunan. Sperma tidak peduli panjang jalan yang ditempuh, asal bisa sampai ke tujuannya — sel telur.”

Dani tersenyum kecil, tapi kemudian wajahnya kembali muram. 

“Tapi dok, saya sering stres. Kadang malah susah ereksi karena kepikiran terus.”

“Itu wajar,” ujar dokter Haris. 

“Banyak pasien seperti kamu merasa tertekan secara psikologis. Tapi justru stres itu yang bisa mengganggu fungsi seksual. Coba ubah fokusmu — bukan ke ukuran, tapi ke kesehatan dan keintiman. Kalau dibutuhkan, ada terapi hormon atau konseling pasangan.”

Dani mengangguk. Kata-kata dokter itu terasa seperti udara segar di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak cacat. Ia hanya berbeda.

Sebelum pamit, dokter itu menambahkan, 

“Ingat, Dani. Kejantanan bukan diukur dari panjang tubuh, tapi dari bagaimana kamu bertanggung jawab dan mencintai dengan jujur. Banyak pria dengan micropenis yang punya anak dan rumah tangga bahagia. Kamu pun bisa.”

Sore itu, Dani berjalan keluar dari klinik sambil menatap langit. 

Rasanya tubuhnya masih sama, tapi beban di kepalanya lenyap separuh. 

Di rumah nanti, ia ingin memeluk Rina, bukan karena rasa bersalah, tapi karena keyakinan baru — bahwa cinta dan sains ternyata berpihak pada keberanian yang tak lagi malu.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia memandang dirinya di cermin bukan dengan rasa takut, tapi dengan penerimaan. 

Ukuran ternyata bukan segalanya; yang lebih penting adalah keberanian untuk tetap percaya bahwa ia cukup — untuk dirinya, dan untuk cinta yang menunggunya di rumah.



Posting Komentar untuk "Tongkolku Super Mungil, Dok"