Temen Sekamar yang Nyebelin
Burhan duduk di pinggir ranjang kos yang ukurannya cuma dua kali satu setengah meter. Tangannya menggenggam handuk basah yang baru saja dia temukan di atas bantalnya. Wajahnya kaku.
Hidungnya mencium bau sabun yang bukan miliknya—bau sabun yang selalu dipakai Gala, teman sekamarnya yang super santai itu.
“Gala!” teriak Burhan setengah menahan emosi.
Dari kamar mandi, Gala keluar cuma pakai handuk melilit pinggang. Air masih menetes dari rambutnya ke dada dan perutnya yang berotot tipis. Dia nyengir seolah gak terjadi apa-apa.
“Kenapa, Han? Handuk gue kece, ya?” katanya, enteng.
Burhan menghela napas berat.
“Itu handuk gue, Gal! Gue baru cuci kemarin sore, dan sekarang lo pakai terus lo taruh di bantal gue!”
Gala mengangkat bahu.
“Lah, sama aja, kan? Kita juga sekamar. Gak usah ribet.”
“Sekamar bukan berarti semua bisa lo pake sesuka hati!” suara Burhan naik. “Kemarin kaos gue lo pakai, celana dalam juga lo ambil dari jemuran, sekarang handuk. Besok apalagi?”
Gala ketawa kecil, seperti gak merasa bersalah.
“Bro, lo tuh terlalu kaku. Namanya juga cowok-cowok sekamar. Gak usah baper.”
Burhan berdiri, wajahnya merah karena kesal.
“Lo pikir ini lucu? Gue bukan pasangan lo, Gal. Gue temen sekamar, bukan orang yang bisa lo peluk pas tidur karena ‘dingin’. Gue masih normal, dan gue gak nyaman!”
Kata-kata terakhir itu membuat Gala sedikit terdiam. Tapi cuma sebentar. Ia malah nyengir lagi, menepuk bahu Burhan.
“Bur, santai aja kali. Gue cuma bercanda. Lo tuh kayak emak-emak PMS-an,” katanya sambil mengambil celana dari gantungan—celana milik Burhan.
Burhan langsung merebutnya.
“Tuh! Lo liat sendiri kelakuan lo! Gue sumpah, kalau lo gak bisa berubah, gue bakal pindah kos besok!”
Nada suaranya dingin, tegas. Gala akhirnya berhenti ketawa. Ia melihat wajah Burhan yang benar-benar marah, bukan sekadar ngambek kecil.
Kamar itu mendadak hening, cuma terdengar suara kipas angin yang berdecit pelan.
Burhan menatap Gala tajam.
“Gue tahan-tahan dari kemarin karena mikir lo cuma becanda. Tapi lo udah kebangetan, Gal. Lo mandi telanjang depan gue, pakai sikat gigi gue, sabun gue, kaos gue, dan tidur nyender di gue. Lo pikir gue nyaman?”
Gala menunduk. Wajahnya mulai kehilangan senyum.
“Gue cuma… ya, gue mikir itu hal biasa aja di antara cowok,” katanya pelan.
“Gak semua cowok kayak lo, Gal. Ada yang masih tahu batas. Gue salah satu yang gak bisa terima hal kayak gitu.”
Hening lagi. Gala akhirnya duduk di ujung ranjang, memainkan handuknya yang basah.
“Gue… minta maaf, Bur,” katanya lirih.
“Gue gak nyadar kalau lo se-enggak nyaman itu. Gue kira lo cuma jaim.”
Burhan merapikan barang-barangnya, memasukkan beberapa baju ke tas ransel.
“Maaf aja gak cukup kalau lo gak berubah.”
“Gue janji, Bur,” kata Gala cepat.
“Gue bakal berubah. Gak bakal nyentuh barang lo lagi, gak bakal tidur ngelunjak, gak bakal telanjang depan lo. Serius. Jangan pindah kos, ya? Gue gak mau kehilangan temen kayak lo.”
Burhan berhenti melipat bajunya, menatap Gala lama. Ia bisa melihat penyesalan di wajahnya kali ini—bukan cuma alasan supaya gak kehilangan teman tidur murah.
Akhirnya Burhan menghela napas panjang.
“Oke, Gal. Tapi kalau lo ngulang lagi, gue beneran cabut. Gue pengin kamar kos ini jadi tempat istirahat, bukan tempat gue was-was tiap lo keluar mandi.”
Gala mengangguk cepat.
“Deal. Gue bakal jaga jarak. Janji.”
Burhan akhirnya duduk lagi, mencoba menenangkan diri. Gala pelan-pelan pergi ke jemuran, kali ini mengambil bajunya sendiri, bukan baju Burhan.
Malam itu, kamar kecil itu terasa lebih lega. Dua orang cowok yang sekamar akhirnya paham: kedekatan bukan alasan buat ngelupain batas.
Bahkan di ruang sempit, tetap harus ada ruang pribadi yang gak boleh diinvasi, meskipun oleh teman sendiri.
Posting Komentar untuk "Temen Sekamar yang Nyebelin"