Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tuhan, Kenapa Aku Terlahir Tampan?


Jeff merasa capek jadi orang tampan. Kadang, ia memandang wajahnya di cermin lama sekali, seperti sedang berusaha menemukan cela. Tapi tak ada. 

Kulitnya mulus, rahangnya tegas, mata cokelatnya dalam, hidungnya mancung. 

Semua serba pas. Bahkan lekuk tubuhnya seperti digambar dengan penggaris oleh Tuhan sendiri: dada bidang, perut berotot tapi tidak berlebihan, dan bahu yang membuat kemeja biasa pun tampak seperti iklan parfum pria.

Orang-orang bilang Jeff beruntung. Ia hanya tersenyum, meski dalam hatinya ingin membanting pujian itu ke lantai.

“Enak banget ya, lahir langsung cakep begitu,” kata teman kampusnya dulu.

Ia hanya menjawab, “Coba tukeran hidup seminggu. Kamu yang tampan, aku yang biasa. Kita lihat siapa yang tahan.”

Masalahnya bukan cuma soal perhatian. Tapi soal privasi yang tercabik-cabik seperti kertas brosur. 

Tiap kali ia unggah foto di Instagram, ribuan komentar datang. 

Ada yang memujinya setengah mati, ada yang terang-terangan mengajak tidur. 

Ada yang bilang ingin jadi pacarnya, tapi tidak ada yang bertanya bagaimana kabarnya. 

Bahkan pesan-pesan pribadi di DM kadang membuatnya muak. Orang-orang menulis hal-hal yang bahkan tak sanggup ia ulang dengan suara keras.

“Capek,” katanya pelan suatu malam, sambil menatap layar ponsel yang penuh notifikasi.

Ia lalu menutup semua aplikasinya, satu per satu. Instagram. Twitter. TikTok. Lenyap.

Jeff merasa seperti baru saja melepas beban sebesar ransel penuh batu.

Hari-hari berikutnya terasa aneh. Tidak ada lagi yang memanggil namanya di jalan. Tidak ada lagi notifikasi atau emoji hati. 

Tidak ada lagi yang memperhatikannya setiap kali masuk kafe. Ia belajar hidup tanpa sorotan. Tapi juga, tanpa validasi.

Di minggu ketiga, Jeff mulai membaca buku. Awalnya hanya karena bosan. Tapi lama-lama, ia menyadari sesuatu: ada rasa tenang yang berbeda saat memikirkan sesuatu yang tidak berhubungan dengan dirinya sendiri. 

Ia membaca Sartre, Camus, juga sedikit buku sains populer. Ia ingin tahu apa rasanya jadi orang yang dihargai bukan karena wajah, tapi karena isi kepala.

Suatu hari, ia menemukan forum diskusi filsafat daring. Di sana, orang-orang berdebat soal eksistensi, kebebasan, dan absurditas hidup. 

Ia ikut nimbrung dengan nama samaran. Tak ada yang tahu ia tampan. Tak ada yang tahu bahwa di dunia nyata ia sering jadi bahan fantasi banyak orang.

Di forum itu, ada satu nama yang selalu membuatnya ingin menulis lebih panjang: Iqbal.

Iqbal tidak menulis dengan gaya mencolok. Ia sederhana, tapi dalam. 

Kadang jawabannya tidak populer, tapi logis. Jeff suka itu. Ia mulai menunggu komentar Iqbal seperti menunggu seseorang membuka percakapan yang berarti.

Mereka akhirnya pindah ke chat pribadi, membahas banyak hal—dari absurditas eksistensi sampai humor receh soal nasi goreng kampus. Jeff merasa nyaman. 

Tidak ada yang menilai penampilan. Tidak ada yang bertanya soal bentuk tubuhnya atau warna matanya. Ia hanya jadi dirinya yang berpikir, bukan dirinya yang dipajang.

Lalu suatu kali Iqbal menulis, “Aku suka cara kamu berpikir, Jeff.”

Jeff menatap layar agak lama. Ia tersenyum. Kata “suka” kali ini terasa berbeda. Tidak basah, tidak sensual, tapi hangat dan tulus. Ia mengetik balasan, “Aku juga suka cara kamu membuatku berpikir.”

Malam itu, Jeff menatap cermin lagi. Tapi kali ini ia tidak mencari kekurangan. 

Ia cuma ingin tahu, apakah dirinya yang sekarang masih orang yang sama dengan dulu. 

Di wajahnya memang masih ada rahang tegas dan kulit mulus, tapi sorot matanya berubah: ada kedalaman yang tidak ia miliki dulu, sebelum semua ini.

Jeff tahu, ia tidak mungkin “jadi jelek”. Tuhan sudah memberi wajah dan tubuh yang seperti ini, dan mustahil mengelak dari takdir genetik. 

Tapi ia juga tahu, ia bisa memilih cara hidup. Ia bisa memilih untuk tidak menjadikan ketampanannya sebagai pusat gravitasi hidupnya.

Dalam dirinya tumbuh kesadaran baru: menjadi tampan itu bukan dosa, tapi bisa jadi jebakan jika tak diimbangi makna. 

Ia mulai menulis esai di forum itu, membahas soal identitas dan persepsi, soal bagaimana manusia sering kali mencintai kulit luar lebih dari isi kepala.

Suatu kali, Iqbal menulis: “Kamu orang yang menarik, Jeff. Mungkin karena kamu tidak mencoba menarik.”

Jeff tersenyum. Untuk pertama kalinya, pujian itu tidak membuatnya risih.

Ia merasa dilihat, bukan dipandang. Dikenal, bukan diinginkan.

Malam itu, sebelum tidur, ia berdoa:

“Tuhan, kalau aku tak bisa memilih wajahku, izinkan aku memilih pikiranku sendiri. Dan kalau aku harus tetap tampan, biarlah setidaknya aku juga bijak.”

Lampu kamar padam. Dunia hening. Di layar laptopnya, notifikasi forum menyala pelan:
“Iqbal menanggapi tulisanmu.”

Jeff tersenyum lagi. Bukan karena merasa tampan, tapi karena merasa hidup.

Posting Komentar untuk "Tuhan, Kenapa Aku Terlahir Tampan?"