Badan Bagus Harus Dipamerin di Sosmed
Aku selalu merasa asing dengan tubuhku dulu. Pipi tembem, dada turun ke bawah seperti dua pir lelah, dan perut yang selalu menonjol lebih dulu sebelum aku menyapa dunia. Kemeja ukuran L terasa seperti penjara kain.
Saat bercermin, refleksku selalu menunduk, seolah cermin itu makhluk yang senang mengolok-olok.
Sampai suatu sore, setelah napas ngos-ngosan menaiki tangga dua lantai, aku sadar sesuatu harus berubah.
Aku memutuskan masuk ke sebuah gym yang baru buka di kota kecilku—namanya Iron District Fitness, terletak di lantai dua ruko panjang yang menghadap jalan raya.
Dari luar terlihat seperti kotak kaca besar, lampu neon putih memantul di jendela besar, membuat semua orang bisa melihat orang-orang berlatih di dalamnya. Seperti aku menonton masa depan dalam display toko.
Begitu masuk, aroma campuran karet matras, keringat, dan sedikit wewangian disinfektan menyambut.
Lantai hitam rubber, deretan dumbbell tersusun seperti prajurit baja dari 2 kg hingga 40 kg. Di sisi kanan treadmill berjajar, menghadap jendela besar ke arah jalan, jadi kita bisa melihat mobil hilir-mudik sambil berkeringat seperti sapi perah.
Di sisi kiri, kabel mesin dan squat rack berdiri megah seperti altar besi para penyembah otot. Musik EDM menghentak, bass-nya memukul dada seperti tepukan pengingat: bangun, bergerak, hidup.
Aku mulai pelan. Treadmill 15 menit. Dumbbell 5 kg untuk chest press. Lalu pulang dengan rasa bangga yang lucu—bangga karena tidak pingsan.
Hari berganti minggu. Minggu berubah bulan. Pelatih selalu bilang, “Tubuh itu bukan mie instan. Proses, bro.” Aku menelan kalimat itu seperti suplemen wajib.
Perlahan, aku mulai merasakan pergeseran kecil namun nyata. Nafas di tangga tidak lagi bunyi knalpot rusak. Kaos lama terasa longgar. Tulang rahang mulai muncul dari persembunyiannya.
Di gym, aku mulai menatap diriku di cermin bukan untuk membenci, tapi mengoreksi form. Bahuku mulai membentuk garis lebih tegas, lengan mulai terisi, dada tidak lagi mengarah ke bumi.
Pertama kali aku melihat perutku tidak lagi menggembung seperti balon ulang tahun, aku tertawa sendirian di toilet gym. Tawa bahagia orang yang berhasil kabur dari tubuh lamanya.
Suatu hari, setelah sesi deadlift yang membuat tanganku gemetar seperti habis ujian fisika, pelatihku bilang,
“Ambil foto progresmu. Post ke sosmed. Biar jadi inspirasi.” Aku sempat menolak. Takut dikira pamer. Takut dikira narsis. Takut tubuhku jadi bahan komentar jahat.
Tapi aku ingat, aku dulu terinspirasi oleh banyak orang yang memposting progres mereka. Mereka tidak sombong. Mereka lampu jalan.
Aku pulang, mandi, mengambil gambar di depan cermin kamar dengan pencahayaan seadanya. Tubuhku masih jauh dari sempurna, tapi jelas berubah: garis bahu, dada naik, lengan berisi, wajah lebih cerah seperti punya harapan baru. Aku unggah ke Instagram dengan caption singkat:
“Bukan pamer. Ini bukti bahwa sakit, lelah, dan disiplin bisa mengubah hidup. Kalau aku bisa, kamu juga bisa. Yuk hidup sehat.”
Aku menekan tombol upload.
Dalam beberapa jam, komentar berdatangan: “Keren bro!” “Ini memotivasi banget!” “Gua mau mulai juga, gimana tipsnya?” “Nggak nyangka bisa sebagus ini, salut!”
Satu komentar membuatku berhenti membaca sejenak: “Makasi. Foto ini nyelametin gue. Gue hampir nyerah.”
Aku menatap layar cukup lama sampai mataku panas.
Ternyata benar—tubuh hasil gym memang harus dipamerkan. Bukan untuk sombong, tapi untuk melawan rasa putus asa yang pernah kita rasakan sendiri. Untuk jadi bukti bahwa manusia bisa jadi versi lebih baik dari dirinya kemarin.
Sekarang setiap pagi aku ke gym. Iron District Fitness bukan lagi tempat asing. Itu rumah kedua. Tempat orang-orang saling menyemangati meski tidak saling kenal. Tempat suara clank besi terdengar seperti tepuk tangan.
Tubuhku masih dalam perjalanan. Perut belum kotak enam penuh—baru empat setengah. Tapi aku sudah jatuh cinta dengan prosesnya.
Dan ketika malam aku melihat foto progres terbaru dan tersenyum, aku tahu satu hal sederhana:
Menyehatkan diri sendiri adalah hadiah. Membagikannya ke orang lain adalah warisan.

Posting Komentar untuk "Badan Bagus Harus Dipamerin di Sosmed"