Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Istriku menyukai sahabatku


Kalimat itu menggantung di kepala seperti lampu neon yang kedip-kedip ketika listrik hampir padam. Bising, menyilaukan, tapi tak pernah benar-benar mati.

Semua berawal dari pertengkaran kecil—hal remeh, soal aku yang pulang terlambat karena rapat. Seharusnya selesai dalam lima menit. Nyatanya, seperti biasa, melebar ke mana-mana.

Dan seperti biasa pula, dia mengucapkan nama itu.

“Coba kamu kayak Betral,” katanya tajam. “Kalau ngomong jelas, komunikatif. Dia enak diajak diskusi. Beda sama kamu yang selalu ngegas.”

Aku terdiam, padahal ingin membalas. Betral. Sahabatku sejak SMA. Orang paling stabil yang pernah kukenal. Kalem, tampan, dan badannya proporsional. 

Sering bantu aku nge-gym, selalu disiplin makan sehat. Kadang aku sendiri minder sebagai sahabatnya, apalagi dibandingkan dengannya sebagai suami?

Istriku selalu menjadikan dia standar. Katanya, itu bukan soal fisik atau tampang. Katanya lagi, itu soal komunikasi. Tapi di kepalaku muncul pikiran buruk yang memanjangkan kuku.

Kalau memang komunikasinya yang dia puji, kenapa wajah istriku selalu berubah setiap kali melihat Betral? Ada cahaya kecil di matanya. 

Cahaya yang tidak pernah sama ketika melihatku. Mungkin pujian soal komunikasi hanya kedok belaka, topeng dari ketertarikan yang lebih dalam.

Tapi aku mencoba waras. Betral sahabatku. Aku tahu dia. Dia bukan tipe laki-laki yang akan melirik istri sahabatnya. 

Dia selalu menghormati batas. Dan selama ini aku percaya penuh padanya. Aku juga tidak berpikir mereka selingkuh. Tidak mungkin.

Pikiran itu membuatku tetap bisa tidur, meski hanya setengah nyenyak.

Sampai pagi itu.

Aku bangun lebih cepat dari biasanya. Istriku sudah tidak di kamar. Mungkin sedang menyiapkan sarapan. Aku turun dari kasur, lalu melihat sesuatu yang membuat tubuhku kaku.

Di meja kecil dekat kasur, tergeletak singlet putih. Bukan singletku. Ukurannya lebih besar, seratnya lebih tebal, dan aku tahu persis aku tidak pernah memakai singlet merek itu. 

Aku bahkan tahu siapa pemiliknya, karena aku pernah melihatnya dipakai setelah gym.

Betral.

Dadaku rasanya seperti diremas tangan tak terlihat. Suara di kepala mulai berteriak, sementara seluruh bagian tubuhku membeku.

Kenapa singlet itu ada di sini?

Aku mencoba mencari jawaban paling masuk akal, dan hanya menemukan kegaduhan. 

Mungkin ketinggalan waktu dia main ke rumah? Tapi kenapa di kamar? Kenapa di meja dekat kasur?

Aku memegang singlet itu. Baunya masih segar. Seperti baru dipakai.

Langkah kaki terdengar dari arah dapur, pelan, seakan tidak sengaja.

“Aku bikin teh,” suara istriku terdengar biasa, netral. “Kamu udah bangun?”

Aku berdiri membelakangi pintu, menggenggam singlet itu erat-erat.

“Ini punya siapa?”

Sunyi menyelinap masuk. Tidak ada jawaban. Hanya denting sendok yang berhenti, mendadak terlalu keras dalam keheningan.

Aku menatap bayanganku di kaca jendela. Buram. Retak.

“Aku bisa jelasin,” katanya akhirnya, pelan. “Tolong, jangan marah dulu.”

Aku menoleh perlahan. Kurasa jantungku berhenti sebentar.

Karena di matanya, aku tidak hanya melihat ketakutan.

Ada sesuatu yang lain.

Sesuatunya yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Dan saat itu, pintu depan rumah berbunyi. Seseorang seperti baru masuk dari luar. Suara langkah sepatu.

Langkah yang sangat… kukenal.

Cerita berhenti di situ.

Karena aku belum tahu apa yang akan kulakukan setelah ini.

Posting Komentar untuk "Istriku menyukai sahabatku"