Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pria yang Pernah Mengisi Kesepianku


Aku masih inget saat lampu kami matikan dan semua pakaian kami lepas.

Lalu berciuman mesra sembari melepas hasrat, tubuh kami banjir keringat sambil menahan desahan agar tak terdengar kamar sebelah.

Kami bergantian genjod, dia dulu yang menyerubuhiku dengan gaya doggy, lalu gantian aku yang menggenjotnya dengan gaya butterfly.

Di akhir, kami kocokin masing-masing hingga crot.

-00-

Dulu kami seperti dua penghuni kos yang saling mengerti bahasa tanpa perlu banyak kata. 

Pagi sarapan bareng di warung dekat gang, malam duduk di teras sempit sambil ngerumpi soal hidup dan masa depan yang masih samar. 

Junev selalu bawa gitar jelek yang senarnya sering putus, tapi entah kenapa suaranya bikin penghuni kos betah, bikin aku betah.

Waktu itu hidup sederhana. Aku sering pura-pura sibuk supaya dia yang duluan ngajak ngobrol. 


Dia sering pura-pura lupa bayar listrik, supaya aku yang menalangi dulu. Kami saling butuh, meski tak pernah jujur mengakuinya. 

Dan di sela tawa receh dan mi instan tiga ribuan, aku pelan-pelan jatuh: Junev jadi rumah, jadi tempat paling aman buat pulang.

Tapi waktu ternyata licik. Setelah lulus, kami pindah dari kosan itu. Dia dapat kerja di kota lain, sementara aku bertahan di sini, di kota penuh kenangan. 

Chat semakin singkat, telepon makin jarang, sampai akhirnya hanya jadi riwayat yang enggan dihapus.

Hari ini kami bertemu lagi, tanpa sengaja. Sebuah cafĂ© kecil, bau kopi arabica yang menyengat, meja kayu yang bunyinya berdecit. 

Dia berdiri di depan pintu, memakai jaket denim, rambutnya lebih pendek dari terakhir kali. Tatapannya kaget, tangannya gugup. 

Senyum tipis muncul, lebih seperti formalitas daripada hangat yang dulu pernah aku hafal.

“Hai,” katanya pendek.

Aku membalas dengan senyum yang kaku. 

“Hai, Junev.”

Kami duduk berhadapan, tapi rasanya seperti jarak seribu kilometer. 

Obrolan kami dangkal, hanya tentang pekerjaan, cuaca, dan rencana-rencana yang terdengar standar. 

Tak ada lagi tawa norak atau godaan konyol tentang siapa yang paling pelit di kos. Sunyi melayang seperti asap kopi yang menggantung.

Aku ingin bilang bahwa aku merindukannya. 

Ingin bilang bahwa dulu dia pernah mengisi ruang kesepianku yang paling gelap. 

Ingin bilang bahwa aku pernah menunggu, berharap dia kembali menjadi versi dirinya yang dulu, yang hangat, yang dekat.

Tapi kata-kata itu menabrak dinding yang tak terlihat.

Junev menatap jam tangannya. 

“Aku harus pergi. Senang ketemu kamu lagi.”

Aku mengangguk. “Iya. Hati-hati.”

Dia berdiri, melangkah menuju pintu. Tak ada pelukan. Tak ada janji untuk bertemu lagi. Hanya punggung yang menjauh, perlahan menghilang di kerumunan.

Mungkin begitulah hidup bekerja. Beberapa orang datang sebagai musim. Junev adalah musim paling indah yang pernah singgah, tapi tidak untuk ditinggali selamanya.

Bagaimanapun, dia pernah menjadi spesial. Dan itu cukup.

Posting Komentar untuk "Pria yang Pernah Mengisi Kesepianku"