Brondong Cakep, Karyawan Baru
Debu-debu Jakarta menari di antara celah gedung-gedung tinggi, menyelimuti kantor konsultan properti dan retail bangunan dengan patina senja.
Di balik dinding kaca yang memantulkan gemerlap kota, aroma kopi bercampur parfum mahal menciptakan simfoni khas metropolitan.
Di sanalah aku, Riana, seorang analis senior yang jiwanya telah menyatu dengan angka dan blueprint, menghabiskan hari-hari dalam ritme yang nyaris sempurna.
Hingga kemudian, Alie hadir, bagai setetes embun di gurun pasir.
Alie, dengan senyum yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan hati, dan tubuh atletis yang menyimpan energi mentah seorang pemuda, langsung menjadi pusat gravitasi di kantor ini.
Lekuk tubuhnya yang slim atletis, hasil dari kecintaannya pada ring basket, memancarkan vitalitas yang kontras dengan kelesuan para pekerja kantoran.
Dan wanginya… Oh, wanginya bagai puisi yang tak terucapkan, segar namun memikat, maskulin namun lembut.
Takdir menempatkannya di divisiku. Sebagai senior, aku menjadi nahkoda yang menuntunnya mengarungi lautan istilah teknis dan alur kerja yang rumit.
Awalnya, aku melihatnya sebagai kanvas kosong yang siap kutorehkan dengan ilmu dan pengalaman.
Aku sabar menguraikan benang kusut data, menjawab setiap pertanyaannya dengan ketelitian seorang guru.
"Terima kasih, Kak Riana. Bersama Kakak, belajar terasa begitu nyaman," bisiknya suatu senja, saat kami berdua terjebak dalam labirin presentasi untuk klien besar.
Kata-kata itu bagai riak kecil yang mengusik ketenangan danau hatiku. Nyaman? Aku? Wanita yang telah melewati gerbang usia tiga puluh, dengan gaya busana yang lebih mementingkan fungsi daripada estetika?
Aku tertawa getir dalam hati. Mungkin, itu hanya ungkapan terima kasih yang berlebihan.
"Sudahlah, Alie. Carilah teman yang seumuran. Pasti lebih menyenangkan," jawabku, berusaha menyembunyikan gejolak yang mulai kurasakan.
Namun, Alie menggeleng pelan.
"Tidak, Kak. Justru aku lebih tertarik pada kedalaman jiwa yang telah teruji oleh waktu. Aku menghargai kebijaksanaan dan pengalaman."
Sejak saat itu, jarak tercipta di antara kami, bagai tirai tipis yang memisahkan dua dunia.
Aku berusaha menjaga diri, takut terjerat dalam labirin perasaan yang tak seharusnya ada.
Aku khawatir, kekagumannya hanyalah fatamorgana yang muncul karena aku membantunya beradaptasi.
Namun, semakin aku menjauh, semakin bayangannya menghantuiku.
Senyumnya, tatapannya yang teduh, bahkan aroma parfumnya yang memabukkan, terus menari-nari dalam benakku.
Aku mulai bertanya pada diri sendiri, mengapa aku begitu takut? Mengapa aku menutup pintu hati untuk seseorang yang begitu tulus?
Di tengah malam yang sunyi, saat aku bergulat dengan angka-angka laporan keuangan, sebuah pesan singkat dari Alie memecah keheningan.
"Kak, bisakah kita bicara?"
Jantungku berpacu lebih cepat dari detik jam dinding. Aku tahu, cepat atau lambat, saat ini pasti akan tiba.
Aku menarik napas dalam-dalam, dan menjawab pesannya dengan jemari gemetar.
"Baiklah. Di mana?"
Di bawah temaram lampu sebuah kedai kopi sederhana, dekat kantor yang menjadi saksi bisu pertemuan kami, aku dan Alie duduk berhadapan.
Di matanya, aku melihat ketegasan yang berpadu dengan keraguan.
"Kak, aku serius dengan perasaanku. Aku tahu Kakak lebih dewasa, tapi itu bukan penghalang bagiku. Aku mencintai Kakak apa adanya," ucapnya dengan suara rendah, namun penuh keyakinan.
Aku terdiam, bagai patung yang membeku dalam waktu. Kata-katanya bagai melodi yang mampu meruntuhkan tembok pertahanan yang telah kubangun selama ini.
Aku menatap matanya, mencari kebohongan. Namun, yang kutemukan hanyalah kejujuran dan ketulusan yang terpancar dari kedalaman jiwanya.
Malam itu, aku memutuskan untuk merobek tirai yang memisahkan kami. Mungkin, inilah saatnya untuk memberi kesempatan pada cinta.
Mungkin, Alie adalah jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantuiku.
Dan mungkin, kisah kami akan menjadi babak baru dalam buku kehidupanku, sebuah kisah yang ditulis dengan tinta keberanian dan harapan.


Posting Komentar untuk "Brondong Cakep, Karyawan Baru"