Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam Pertama dengan Suamiku


Di kamar sempit berlampu kuning, Dara berbaring memandangi langit-langit, jantungnya berdetak tak seirama dengan jam dinding. 

Tubuhnya dekat dengan tubuh Raka, jarak mereka tinggal napas. Sentuhan itu datang perlahan, canggung, seolah keduanya sedang menawar keberanian masing-masing.

Saat Raka mendekat, Dara menutup mata. Ada rasa gugup yang lama bersarang di kepalanya—tentang mitos, tentang rasa sakit, tentang kata orang yang sering lebih keras dari kenyataan. 

Tapi tubuhnya, seperti punya bahasa sendiri. Ketika penis suaminya masuk ke liang vaginanya dan mengoyak pelan, ia merasakan hangat yang tak ia perintahkan. Ada basah yang muncul, diam-diam, tanpa aba-aba.

Dara terkejut. Bukan karena malu, tapi karena heran. 

“Kok bisa?” pikirnya. 

Ia selalu mengira perasaan harus sepakat dulu dengan tubuh. Nyatanya, tubuh sering melangkah lebih dulu, seperti ilmuwan bandel yang tak sabar menunggu teori.

Raka berhenti sejenak, membaca ekspresi Dara. 

“Kalau nggak nyaman, kita berhenti,” katanya lirih. 

Dara mengangguk, menelan gugup. Ia ingin jujur, tapi tak ingin menggurui. Maka ia memilih jujur pada dirinya sendiri. 

Ia menyadari, basah itu bukan keputusan moral. Itu respons biologis. Darah mengalir lebih deras, pembuluh melebar, dinding vagina mengeluarkan cairan pelindung. 

Tubuhnya sedang bekerja, bukan sedang memberi penilaian.

Ketika penis suaminya kembali mengoyak liang vaginanya, Dara merasakan licin yang membuat segalanya lebih lunak. 

Bukan hanya gesekan yang berkurang, tapi ketegangan di kepalanya juga. 

Ia teringat bacaan-bacaan yang dulu ia anggap terlalu klinis untuk urusan perasaan. 

Tentang cairan pelumas alami, tentang kelenjar kecil yang rajin membantu, tentang lendir serviks yang ikut nimbrung. 

Semua itu kini hadir sebagai pengalaman, bukan paragraf buku.

"Enak," bisiknya lirih, yang membuat suaminya makin bersemangat.

Namun drama tak pernah absen. Di tengah ritme yang kian menyatu, Dara merasakan dorongan aneh, seperti gelombang yang ingin keluar. Ia panik. 

“Jangan-jangan ini yang orang sebut macam-macam itu,” pikirnya, takut disalahpahami. 

Tapi Raka tetap tenang, seperti penjaga mercusuar yang tak panik melihat ombak. Dara pun membiarkan tubuhnya berbicara. 

Cairan itu keluar, dan dunia tidak runtuh. Tidak ada dosa kosmik. Hanya napas yang tersengal dan air mata yang tiba-tiba jatuh—bukan karena sakit, melainkan lega.

Setelahnya, mereka terdiam. Hujan masih setia di luar. Dara tertawa kecil, getir sekaligus hangat. 

“Ternyata tubuh itu jujur,” katanya. Raka mengangguk. “Dan jujur itu menenangkan.”

Dara belajar sesuatu malam itu. Bahwa basah bukanlah aib, bukan tanda lemah, apalagi janji. 

Itu bahasa tubuh yang meminta dipahami. Bahwa drama terbesar sering bukan pada apa yang terjadi di ranjang, melainkan pada pikiran yang terlalu lama percaya mitos. 

Tubuh bekerja dengan hukum alamnya sendiri—dan kadang, keberanian paling sederhana adalah membiarkannya bekerja.

Posting Komentar untuk "Malam Pertama dengan Suamiku"