Sopir itu Kini BFku (3)
Udara pagi menyeruak ke dalam kamar begitu Bima membuka pintu geser menuju balkon. Matahari baru setengah naik, menembus sela-sela dedaunan kamboja yang bergetar pelan.
Bima menguap sebentar, menggosok matanya, lalu bersandar di pagar kayu ukiran. Hawa sejuk menyeretnya keluar dari kantuk—hingga pandangannya tertumbuk pada pemandangan di halaman depan.
Di bawah sana, Galih sedang mencuci mobil.
Ia mengenakan singlet putih tipis yang melekat sempurna di tubuh atletisnya. Otot-otot bahu dan lengannya menggeliat saat ia mengangkat ember air dan menggosok kap mobil.
Kulitnya yang kecokelatan berkilau sedikit terkena cipratan air. Tanpa sadar, Bima menahan napas.
"Anjirrr… Tu anak cakep banget ternyata," batin Bima terkesiap.
Baru kali ini ia memperhatikan Galih dengan benar, dan pesona itu menyerangnya seperti tsunami kecil—tenang, tapi menggetarkan.
Bima cepat-cepat berbalik, menampar pipinya pelan.
“Bima, sadar, dia cuma sopir... asisten... penjaga... apa pun lah,” gumamnya gugup.
-00-
Di dalam mobil, saat mereka melaju menuju kampus, Bima melirik Galih yang menyetir dengan satu tangan di kemudi, mata fokus ke jalan.
“Eh, Gal,” kata Bima sambil memainkan tali tasnya, “Gue nanya deh, lu awalnya kok bisa kerja beginian? Maksud gue, jadi sopir... buat gue?”
Galih menoleh singkat, lalu tersenyum tipis.
“Pamanku temenan lama sama Ayah Mas. Dulu aku kerja di perusahaan paman sebagai driver kantor. Antar jemput klien, kirim dokumen, gitu-gitu.”
Bima mengangguk pelan. “Terus kenapa lu mau pindah jadi driver pribadi? Kayaknya lebih repot gak sih, ngikutin satu orang terus?”
Galih tertawa ringan.
“Justru lebih simpel. Gak perlu kejar banyak orang. Lagipula, waktu Pak Gunawan nawarin, dia juga nunjukin foto kamu.”
Bima menoleh cepat. “Foto gue?”
“Iya. Katanya aku bakal jagain kamu tiap hari. Jadi disuruh mikir dulu sebelum setuju.”
Bima memerah. “Dan... apa yang lu pikir?”
Galih meliriknya sejenak sebelum menjawab.
“Kamu gak kelihatan nakal. Lebih ke... anak manja yang kesepian. Butuh teman, bukan penjaga.”
Ucapan itu menusuk halus ke dada Bima. Ia menoleh ke jendela, menahan senyum yang tiba-tiba muncul.
“Yah... siapa tahu bener,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Di kursi pengemudi, Galih hanya tersenyum tipis, tanpa berkata apa-apa lagi.
Tapi hatinya, seperti mobil yang ia kemudikan, sedang menuju arah yang tak pernah ia duga sebelumnya.
BERSAMBUNG
Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (3)"