Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sopir itu Kini BFku (5)



Udara di kamar hotel terasa hening setelah tawa-tawa mereka mereda. Bima duduk bersandar di kepala ranjang, kaki ditekuk, dan matanya terus melirik Galih yang kini sudah mengenakan kaus lagi, duduk santai di kursi dekat jendela.

Tapi kepalanya penuh.

Rasa penasaran yang tadi tertunda karena kehebohan, kini menyeruak lagi.

“Gal...,” panggilnya, pelan.

“Hm?”

“Gue masih gak ngerti deh. Lu serius, ya? Mau-mau jadi sopir pribadi gue? Maksud gue... lo tuh ganteng, keren, pinter... terus milih jadi sopir? Nganterin anak orang kaya kemana-mana? Kok... gak masuk akal.”

Galih diam beberapa detik. Pandangannya menerawang keluar jendela, menatap lampu kota yang berkedip samar.

“Kamu gak akan berhenti nanya ya kalau belum dijawab?” katanya akhirnya, menoleh dengan senyum tipis.

“Enggak,” jawab Bima mantap.

Galih menghela napas, lalu bersandar. “Oke. Jujur aja ya...”

“Hmm?”

“Aku emang interest sama anak papi manja tapi pedes kayak kamu.”

Bima melotot. “Ha?!

Galih nyengir. “Tenang. Gak seaneh yang kamu pikirin kok. Aku suka hal-hal baru. Hidup di zona nyaman terus tuh bikin bosen.”

“Jadi... ini cuma eksperimen buat lu?”

“Bisa dibilang gitu. Kontraknya cuma setahun. Aku juga butuh rehat dari kerjaan lama.”

“Kerjaan lama?”

“Di perusahaan paman. Aku udah jadi kepala unit driver di sana. Tapi... ya gitu, tiap hari rutinitasnya sama, ketemu orang itu-itu lagi. Bosan. Makanya, waktu Om bilang ada tawaran jadi driver pribadi... dan nunjukin fotomu... aku pikir, kenapa nggak?”

Bima mengerutkan kening. “Dan dari semua alasan di dunia... interest sama anak papi itu yang bikin lu mutusin pindah kerja?”

Galih tertawa. “Iya. Soalnya kamu kelihatan... gemesin.”

Apaan sih?!” Bima melempar bantal kecil ke arah Galih, yang langsung menangkapnya sambil ngakak.

“Aku tuh udah kerja sejak remaja, Bim. Pernah jaga gudang, dorong-dorong troli, terus pindah jadi sopir. Aku terbiasa jagain barang, kirim logistik, jagain kendaraan... sekarang ganti jagain anak orang,” ujarnya sambil tersenyum ringan.

Bima menatapnya. Ada sesuatu di dada yang bergetar pelan. Entah karena ceritanya, entah karena cara Galih menyampaikan semuanya dengan santai, atau... karena sesuatu yang lain.

Ia menghela napas. “Tapi inget, ya…”

Galih menoleh, menaikkan alis.

“Gue bukan boti,” ujar Bima, menekankan kata terakhir.

Galih tertawa. “Oke, noted.”

“Dan mulai besok,” lanjut Bima sambil membalikkan badan, “jangan panggil gue ‘Mas’ lagi. Cukup panggil Bima.”

“Oke, Bima.”

Ada sesuatu yang berubah saat nama itu diucapkan tanpa embel-embel. Sederhana, tapi terasa... dekat.

Dan malam itu, mereka tak lagi tidur seperti majikan dan sopir. Tapi dua laki-laki yang tengah membuka ruang di antara batasan—saling menyelami cerita, tanpa label, tanpa paksaan.

Hanya rasa ingin tahu... yang makin lama makin hangat.

Posting Komentar untuk "Sopir itu Kini BFku (5)"