Ketika Kolam Renang Sepi
Julian berdiri di depan gerbang kolam renang umum. Udara pagi masih sejuk, matahari baru saja muncul di balik pepohonan. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum puas.
“Pas banget,” gumamnya, “sepi.”
Sudah lama Julian ingin berenang tanpa harus berdesakan.
Pengalaman beberapa minggu lalu masih membekas di kepalanya—air keruh, bau klorin menyengat, dan tabrakan dengan orang lain tiap kali ia mencoba meluncur.
Hari itu, ia sengaja datang pagi-pagi sekali. Hanya ada dua orang tua yang duduk di kursi panjang sambil mengawasi anaknya, selebihnya kolam nyaris kosong.
Julian melepas baju hangatnya, lalu melompat pelan ke dalam air. Sensasi dingin menyapu kulitnya. Air terasa segar, jernih, dan tidak terlalu berbau klorin.
“Pasti baru ganti air,” pikirnya sambil membasuh wajah.
Benar saja, seminggu sebelumnya ia sempat bertanya pada penjaga kolam tentang jadwal pergantian air. Hari itu adalah hari pertama setelah pengurasan. Julian bersyukur sudah menyusun rencana dengan tepat.
Ia mulai berenang dengan tenang, gaya bebas dari ujung ke ujung tanpa ada yang menghalangi. Setiap gerakan terasa mulus. Tak ada lagi rasa khawatir menabrak pengunjung lain atau terhenti karena jalur penuh.
Julian berhenti sejenak di tepi kolam, menatap permukaan air yang masih bening.
Ia teringat bagaimana kalau kolam sedang ramai: banyak anak meloncat sembarangan, ada yang tidak sengaja—atau mungkin sengaja—buang air di dalam kolam, ditambah keringat dan sisa lotion yang bercampur begitu saja.
“Untung hari ini beda,” katanya dalam hati.
Ia kembali menyelam, mencoba variasi gaya punggung. Kali ini tubuhnya bisa bebas mengapung tanpa gangguan suara riuh. Rasanya hampir seperti punya kolam pribadi.
Beberapa menit kemudian, seorang bapak penjaga kolam menghampiri sambil membawa jaring penangkap daun.
“Mas, enak ya kalau masih sepi gini?” tanyanya ramah.
Julian tersenyum. “Banget, Pak. Airnya juga kerasa lebih segar.”
Penjaga itu mengangguk. “Iya, baru kemarin diganti. Kalau datang pagi gini memang paling bagus. Kalau sudah siang… ya, bisa dibayangkan sendiri lah.”
Julian tertawa kecil. Ia tahu maksudnya: semakin banyak orang, semakin banyak pula kotoran yang bercampur di kolam.
Setelah hampir satu jam berenang, Julian naik ke pinggir kolam. Badannya terasa ringan, pikirannya lebih rileks.
Suasana sepi memberi ruang baginya untuk benar-benar menikmati setiap tarikan napas dan ayunan tangan di dalam air.
Sambil mengeringkan tubuh, ia bergumam pelan, “Mulai sekarang, berenang cuma pas kolam sepi. Lebih sehat, lebih nyaman, lebih menyenangkan.”
Dan sejak hari itu, Julian selalu menandai kalendernya, memastikan ia datang di hari pertama setelah pergantian air dan memilih jam paling lengang.
Bagi Julian, berenang bukan lagi sekadar olahraga, tapi juga momen pribadi untuk menenangkan diri—di tengah kolam renang yang sepi, jernih, dan penuh kedamaian.
Posting Komentar untuk "Ketika Kolam Renang Sepi"