Lelah Jadi Tampan
Ia sering bertanya-tanya, sejak kapan wajahnya menjadi beban?
Sejak kapan senyum yang katanya “memikat” justru membuatnya letih?
Di cermin, lelaki itu melihat pantulan dirinya—rahang tegas, sorot mata yang dalam, dan garis senyum yang disukai banyak orang.
Tapi ia tahu, di balik pantulan itu ada seorang diri yang rapuh. Wajah yang selalu dikagumi ternyata adalah tembok yang memenjarakannya.
Setiap kali melangkah di keramaian, ada tatapan yang tak bisa ia hindari.
Ada suara-suara ingin kenal, ingin dekat, ingin sekadar menyapa. Dunia seakan terus mendesaknya untuk membuka pintu, padahal hatinya hanya ingin berdiam.
Ruang privasi menjadi barang mewah yang tak pernah bisa ia miliki. Seperti burung di sangkar emas, indah dari luar, tapi sayapnya patah di dalam.
Pesan-pesan terus berdatangan di ponselnya. Puluhan, ratusan, menumpuk tanpa jeda. Ia tahu tak mungkin membalas semuanya, tapi diamnya sering dianggap kesombongan.
Label itu menempel begitu saja, membuatnya serba salah. Ia ingin jujur, ingin mengatakan bahwa ia lelah, tapi siapa yang mau benar-benar mendengar? Dunia sudah menilai, bahkan sebelum ia sempat bicara.
Dan tentang persahabatan—ah, betapa ia merindukannya. Ia ingin punya satu orang yang bisa duduk bersamanya tanpa rasa canggung, tanpa ada tatapan berbunga-bunga yang mengandung harap lebih.
Tapi kedekatan sering melahirkan baper, dan baper perlahan meruntuhkan jarak sehat yang ia butuhkan.
Di tengah banyaknya orang yang mengelilingi, ia justru merasa asing, sepi, tak punya sandaran sejati.
Orang-orang mendekat, tapi ia tahu sebagian besar hanya datang karena wajahnya. Ada yang memuji matanya, ada yang menyentuh rambutnya, ada pula yang sibuk memamerkannya seolah ia sebuah trofi.
Ia ingin dilihat lebih jauh dari kulit dan tulang, lebih dalam dari sorot mata. Tapi di dunia yang terlalu cepat menilai, siapa yang sempat mencari jiwa? Ia pun diam, menelan luka itu sendiri.
Yang paling menakutkan, foto dirinya sering beredar tanpa izin. Kadang ia melihat wajahnya dipakai untuk akun palsu, dipakai orang lain untuk kepentingan yang tak pernah ia ketahui.
Ia merasa kehilangan kendali atas identitasnya sendiri. Seolah bayangannya berjalan di luar tubuh, bebas dipakai siapa pun. Dan di situlah rasa asing paling menusuk: ketika dirimu sendiri bukan lagi milikmu.
Malam-malam ia rebah di ranjang, menatap langit-langit yang bisu. Pikiran berputar, dada terasa sesak.
Orang-orang bilang ia punya segalanya: wajah tampan, sorot mata memesona, aura yang menarik.
Tapi di balik itu, ia hanya seorang lelaki yang ingin sederhana—ingin ruang untuk bernapas, ingin sahabat tanpa prasangka, ingin dilihat bukan karena fisiknya.
Ia menutup mata, berbisik pada dirinya sendiri.
“Aku bukan sekadar wajah. Aku ingin menjadi manusia utuh. Aku ingin dicintai, bukan dipamerkan.”
Namun, suaranya tenggelam dalam sunyi.
Dan dunia di luar sana tetap ramai menafsirkan wajahnya, tanpa pernah benar-benar mengenal siapa dirinya.
Posting Komentar untuk "Lelah Jadi Tampan"